Hampir berkesudahan tempo pencarian anak emas yang hilang di tanah Jerman. Hembusan kapas yang kuat dan berangsur-angsur redup membuat ujung hidung mengkerut. Paling tidak tiga atau empat lembar daun di setiap ranting yang masih bebas dari guyuran salju. Konblok mini yang berjajar rapi mengembuskan napas artistik sampai ke ujung tapak kaki, lenyap dirong-rong serbuan salju yang menimpa. Jejeran gedung artistik bertetangga dengan hotel fancy dengan penuh bintang menghiasi kualitas di mata manusia yang akan menginap di dalamnya. Gaya acuan yang menyerap aliran neoklasik disini menetapkan secara garis keras bahwa arsitek yang berada dibalik layar bergaya natural dan tidak santai. Pemikiran orang yang santai takkan meluapkan berjuta-juta imajinasi dibawah ubun-ubun batu.
Jangankan terpikir untuk menyusuri jalan menuju terangnya cahaya kesuksesan, bertahan untuk hari esok saja harus banting otak mencari kemungkinan tetap berdiri di kaki sendiri. Mereka kalah dengan burung kenari yang mempersiapkan musim dingin dengan sedini mungkin memperbesar kemungkinan hidup melalui aksi kumpul-kumpul makanan. Jadi, tak perlu ada kegiatan gemetar ria mencari santap harian dengan temperatur yang tanpa malu-malu lagi mengecap dibawah sepuluh derajat Celsius. Sebenarnya dengan cara ini manusia yang masih berkeliaran di bundaran titik keramaian Berlin bisa kembali ke habitat masing-masing tanpa menunggu aba-aba lagi.
Kedua pasang pengasuh calon-calon ilmuwan menghambur keluar mobil dan melakukan tracking ke arah pandangan yang tadi menjemput perhatian Zevanya. Langkah demi langkah menyusuri kapas halus yang mulai menutupi kaki dan kompartemen nya, Pak Ghana merampas tangan Zevanya yang mulai bergemetar ria dengan alibi biar tak sempoyongan menapaki konblok berselimut salju.
“Jangan sampai terulang lagi, ya.”
Kata-kata itu juga menjadi pembimbing yang agak sarkas, namun dengan konsep halus. Saking paniknya, Zevanya tak berpikiran panjang untuk memutar lagi jalan menuju ke dekat penampakan Andra. Pak Ghana yang hanya bisa mengembuskan napas berat terpaksa ikut cara manual mendekati anak itu.
Benar rupanya! Itu Andra.
Belum sampai sebulan padahal Zevanya mengenal Andra yang nampak memucat termangu di kursi taman beserta selimut salju disekitarnya, dirangkul erat pemuda itu dengan kekhawatiran yang cukup jelas lewat berbintik-bintik air mata tumpah. Pipi putih yang berhias bola-bola kaca halus itu diseka secara lembut dan penuh kasih sayang oleh sang pengajar olimpiade.
“Salju mulai mengganas, masih mau berselimut dengan mereka?” inisiatif Pak Ghana mengantarkan mereka untuk lekas menjauhi riak-riak salju yang berlimpah.
“Ayo, boy! Kita harus pulang sekarang!” rangkulan erat itu belum lepas guna menghangatkan barang sedikit dari terpaan suhu ekstrem.