Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #29

Kepingan 29: Sandiwara Dua Musuh Bebuyutan

Jabat tangan yang mungkin bukan hanya bernilai sejarah di mata kedua orang yang sedang melakukannya, tapi juga seluruh mata memandang disekitar mereka. Adalah Indri dan Ayu yang secara anomali merusak khidmat upacara bendera rutin setelah hari Ahad. Komando dari Pak Bambang yang menginisiasi keduanya maju ke hadapan beliau berdampingan dengan tiang bendera sebagai saksi bisu aliansi keduanya. Walaupun pasti ada persaingan remeh-temeh di masa peralihan status relasi mereka, tapi setidaknya jabat tangan bersejarah itu akan jadi momen generasi emas SMA Karya Nusa yang bakal terus disebut-sebut Pak Bambang lima, sepuluh, lima belas tahun kedepan.

Itulah yang juga disebut beliau dalam sesi amanah pembina upacara.

“Oh iya satu lagi, hari ini mereka akan kembali ke sekolah dengan prestasi yang membanggakan, walau ada yang mengalah tapi, itu bukan masalah. Toh, kita sudah buktikan pada dunia dengan orang-orang ini!” persembahan yang tidak bisa dipungkiri oleh semua siswa di sana, lima orang ksatria garuda datang membawa kemenangan dari Jerman tersenyum bangga kepada setiap mata memandang.

Tak terkecuali dua orang di tengah-tengah lapangan upacara.

Malah, dari radius kejauhan yang cukup maksimal buat mata menangkap pemandangan siluet kelima orang itu, bukan satu orang yang agak sedikit berbeda dari empat yang lain. Pastinya Andra. Akankah persaingan mereka akan berakhir dan bersikap seolah semuanya usai?

“Aku bukannya tidak mungkin bisa memaafkan kamu ya, buk Ketua. Tapi, kalau tidak ada persaingan, yaa…. Sekolah ini juga tidak akan -” Indri juga tak kalah mantap menangkap langkah tegap dari para prajurit yang baru turun ke kampung halaman mereka.

“Oeyy!!!” sayangnya ia baru sadar sedari tadi bersalaman dengan tangan palsu yang entah bagaimana bisa disana. Sementara Ayu, bergegas menyambut sang pemenang… hatinya.

Di lain pihak, para peserta olimpiade yang fenomenal itu masih belum mampir terlebih dahulu ke rumah masing-masing dengan tujuan setor muka sebagai prioritas absensi pengajaran. Mereka terlihat gagah memang datang kembali ke kandang, tapi kenyataannya langkah gontai lah menghiasi jalannya langkah kaki mereka.

“Duh, delapan jam di pesawat masih terasa jetlag, ya.” Ilham menginisiasi pembicaraan kecil diantara mereka.

“Iyalah! Kaki juga agak gemetar rasanya terus-terusan naik kendaraan.” timpal Mifta yang dengan refleks mempraktikkan perkataannya.

“Haiyaah! Memang macam itulah rasanya pertama kali naik pesawat tak kira waktu lagi.” pedagang Hoklopan junior ikut-ikutan nimbrung.

“Lelah juga mulut pakai bahasa Inggris, otak harus mikir cepat pula buat cari balasannya.” bahkan ahli Fisika yang mengidamkan teknik sipil pun runtuh dari pijakan konstruksi batinnya.

“Macam kau yang sering bicara bahasa Inggris sama si bule-bule disana, Nesh!” pintar pula sarkasme si pedagang Hoklopan junior itu.

Tanpa mereka sadari, gerombolan pelajar-pelajar biasa yang tadi khidmat berkumpul menghadap tiang bendera, lalu kemudian menghambur ke arah mereka bukan hanya untuk mengucapkan selamat. Dan pasti, terlontar kata-kata:

“Oleh-olehnya mana, boi???” kata-kata ini pasti ada disetiap orang-orang terdekatnya kunjungan kemanapun.

Tak terkecuali dua orang kelas atas yang saling meradang satu sama lain karena tak ada yang mau kalah untuk menyambut si jenius tanpa titel itu. Tapi, yang mereka dapat bukan sosok Andra, melainkan Pak Ghana yang menjadi orang kelima di barisan itu.

“Mana Andra, Pak???!!”

***

Ruang kelas yang senyap menghantam sosok tergopoh-gopoh menyusuri jajaran ruang lab Biologi, lab Bahasa, juga gedung serbaguna. Ia memutar dari alur yang biasa ditelusuri murid-murid pintar se-Pulau Bangka. Seminggu penuh jalanan itu tak dilalui olehnya. Ia bukannya melambat, namun menyegerakan derap lari yang dimulai dari jalur keluar disamping gedung serbaguna. Memang itu jalur berlumpur dan bisa saja ia terpeleset karena langkah lari yang tak tepat. Tapi, toh ia baik-baik saja dan melebihi ekspektasinya sendiri yang biasanya lebih lambat seketika melalui jalur riskan jika dilewati dengan cara itu. Kalaupun ada olimpiade melewati jalur lumpur itu, ia bisa diganjar medali emas yang tak ia dapat dengan tanding otak.

Meskipun begitu, untung saja Pak Sulaiman tak mengajarkan sosok itu aliran kapitalis, juga bukan aliran sebaliknya. Norma hidup dikampung lah yang menjadikan si fenomenal itu tak seegois orang-orang dengan akal pikiran di atas normal lain. Sambilan ikut membantu mengurus ternak, ia juga tidak pernah sekalipun melewatkan canda tawa suka ria orang kampung. Sekalian mengasah kapabilitas bersosial di dunia nyata.

Tibalah ia ke hadapan ruang kelas yang lengang dihisap oleh perhatian khidmat upacara. Apa yang ia cari sampai-sampai rela berimbai keringat sebiji jagung disekitar pipi? Harusnya ia berada disana untuk mendapat sambutan dari warga sekolah. Tak hiraukan riuh rendah dari lapangan upacara yang masih penuh sesak pelajar mengeroyok barisan pahlawan ilmu, ia masuk saja ke petakan luas dengan perabot belajar mengajar yang dari tahun ke tahun tetap sama, kecuali lomba menghias kelas saat tanggal tujuh belas. 

Lihat selengkapnya