Panas menerjang, suasana menantang. Tengah hari siang bolong Gurun Sahara berhasil membuat lindap dahaga kedua pasang penantang dari negeri seberang. Entah apa gerang pemikiran mereka bertamu di tempat yang banyak orang tak ingin singgahi dengan cara seperti ini. Nekat adalah cara yang mereka temui dengan hanya mengandalkan logika pemikiran secara sepihak. Tak ada belaian lembut benang-benang angan yang biasa menjuntai dulu kala saat ia terbiasa dengan merumuskan strategi untuk mendekati cita-cita.
Ini bukan cita-cita yang ia idamkan. Bukan pula rencana awal ia untuk menjinakkan bom waktu yang sedikit demi sedikit mendatanginya dengan tanpa ampun: umur. Tapi, ia hanya terpikir untuk menjatuhkan kegarangan Gurun Sahara yang terkenal memiliki suasana panas yang membuat kejang-kejang. Itu untuk orang normal. Mereka membuat langkah-langkah pasti untuk menyeberang berkilo-kilometer jauhnya. Peristirahatan terdekat adalah tenda dari suku Berber yang masih empat kilometer lagi jauhnya. Sebenarnya mereka sudah berhasil mangkat dari Kota Marrakesh yang punya jarak sampai dua belas jam jauhnya.
Namun, kenyataannya peruntungan mereka jadi minus lantaran sudah kehilangan tiga kilometer dari jarak asli yang seharusnya dilewati. Dua jam yang lalu harusnya mereka sampai di perkemahan suku Berber dan menutup perjalanan pemula di tengah padang pasir. Fatamorgana menikmati pandangan semu mereka ditengah gemunung triliunan butir pasir dalam batang tubuh Gurun Sahara. Tak mungkin mereka sampai disesatkan oleh pandangan semu pantulan cahaya surya diatas butir-butir pasir. Kedua pasang cincin yang melingkar di jari manis satu sama lain ikut terpantul sinar yang berasal dari berjuta-juta kilometer jauhnya dari titik pusat tata surya. Sampai di titik kilometer ketiga dari jalur mereka yang melenceng, Indrianti Syakil sang reporter yang memang sangat berminat untuk menerima tugas bersua dengan suku asli penghuni permadani pasir yang panjangnya sampai menggetarkan lutut.
Wanita yang memang juga punya corak wajah berbau Timur Tengah itu, tak mau melibatkan sang teman hidupnya, Andra, menjadi pengawal pribadinya menuju tempat suku Berber itu. Sifat keras kepala Andra juga ikut dalam alur penuh logika ini. Dan itu, adalah keputusan tepat, karena memang ini kali pertama Indri bertugas di daerah panas ekstrem dilengkapi latar tempat berpasir. Biar tak secara langsung menyampaikan bila Andra ingin mengawasi sesuatu yang bakal membahayakan pasangannya itu, ia beralibi untuk melakukan penelitian dikawasan sekitar suku Berber. Sebagai penganut logika bergaris keras, awalnya Indri curiga dan menolak mentah-mentah keputusannya. Namun, karena cerminan keras kepala yang tak usai dalam berjam-jam debat, alhasil Andra membayar sendiri tiket untuk ikut serta ke Maroko.
Perjalanan tugas memang tak selamanya menyenangkan. Dan ini diawali dengan sesuatu yang nampak membuat pemula seperti mereka bakal bergetar hebat di sepanjang jalan. Tersesat bukanlah pilihan yang mereka inginkan. Dalam radius dua kilometer mereka telah kehilangan alur sebenarnya menuju perkemahan suku Berber. Selain melenceng dari jalur, mereka dihantui oleh pasir-pasir yang beterbangan disekitar keduanya.