RUN OUT

Novian
Chapter #1

Tok tok tok

Air hujan turun deras, menghantam seng dan tanah becek di Pondok Ranggon. Jalan berlubang berubah jadi kubangan. Sudah hampir tengah malam. Nisan-nisan basah, beberapa nyaris tak kelihatan karena kabut. Lampu jalan di ujung berkedip pelan, kadang mati sebentar lalu menyala lagi.

Dimas, 23 tahun, kaos abu-abu lengan pendek, basah kuyup diguyur hujan, menghentikan motor bebek tuanya di depan gerbang besi berkarat. Air hujan menetes dari rambut pendeknya yang menempel di dahi. Tangan sedikit gemetar karena dingin, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya yang juga sudah lembap. Layar ponsel menyala, menampilkan pesan dari Pak Karno, kepala pemakaman.

"Makam B-47. Keluarga minta dikubur malam ini. Upah dobel."

Dimas mendengus pelan, “Dasar orang kaya, seenaknya aja,” gumamnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Dia melepas helm, air hujan mengalir di wajahnya, lalu meraih tas, cangkul dan sekop dari jok motor. Kaos basahnya menempel ketat di tubuh, memperlambat gerakannya. Dengan langkah cepat, dia melangkah melewati gerbang besi yang setengah terbuka, sepatu botnya mencipratkan air di genangan kecil.

Langkahnya menjejak tanah becek, barisan nisan membentang tanpa ujung, samar-samar di balik kabut. Dimas menyalakan senter LED yang digantung di ikat pinggangnya.

Angin bertiup kencang, aroma tanah basah bercampur bau daun kering yang bergesekan di tanah.

Di ujung lorong makam, di bawah pohon kamboja tua yang dahan-dahannya meliuk diterpa angin, seorang pria tegap sudah menunggu. Rian, 35 tahun, berdiri dengan kaos hitam yang juga basah kuyup, memegang payung besar yang sedikit robek di ujungnya. Rokok tergigit di mulutnya, menyala redup di tengah hujan. Wajahnya keras, dengan garis rahang tajam dan alis tebal, sudut bibirnya terangkat, memperlihatkan senyum lebar saat Dimas mendekat.

“Telat, bocah!” sapa Rian, suaranya serak karena udara dingin. “Gue kira lo nyasar atau ketiduran di jalan.”

Dimas mengedikkan bahu, “Ya maap, bang. Hujan. jalanan kayak sungai.” Dia menggosok lengan, kaosnya yang basah membuatnya semakin menggigil. "Lo ga kedinginan apa? Gue aja udah beku gini"

Rian terkekeh, meniup asap rokok yang langsung lenyap diterpa hujan. “Kedinginan sih, tapi apa boleh buat? Dompet gue lagi kedinginan juga.” Dia membuang puntung rokok ke genangan air, lalu menunjuk ke arah kegelapan. “Udah, gas aja. Gue udah cek makamnya, B-47. Aneh sih, lokasinya agak jauh dari yang lain. Di ujung sana, deket pohon kamboja tua.”

Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong makam, langkah mereka berderit di tanah becek. Cahaya senter Dimas menyapu barisan nisan, memperlihatkan nama-nama dan tanggal yang mulai pudar, beberapa ditumbuhi lumut. Angin membawa suara daun kering yang bergesekan.

“Bang,” Dimas memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar. Dia menurunkan suaranya. “Kok rasanya ga enak ya? Biasanya kan, kalo ada pemakaman, keluarganya nungguin. Nangis-nangis, bawa bunga, gitu. Ini kok sepi banget? Kayak... ga ada yang peduli.”

Rian menoleh, alisnya berkerut. “Iya, lo bener. Tadi gue nanya Pak Karno, dia cuma bilang keluarganya udah pamit duluan. Katanya ga kuat ngeliat proses pemakamannya. Aneh, sih.”

Dimas menghentikan langkah sejenak, menatap Rian dengan curiga. “Siapa sih yang dikubur? Kok ga ada kabar apa-apa? kan biasanya kita dikasih tau detailnya, nama keluarga, kapan meninggal, gitu.”

Rian mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya, sudah lecek dan sedikit basah. Dia menyorotnya dengan senter Dimas. “Nama Budi Santoso, umur 17 tahun. Meninggal karena kecelakaan motor. Ini fotonya.” Dia menunjukkan foto buram seorang pria muda dengan wajah biasa, rambut pendek, dan senyum tipis yang terlihat dipaksakan. “Cuma ini doang yang dikasih Pak Karno.”

Dimas mengangguk, “Meninggal dua hari lalu, pemakaman tengah malam? Tanpa keluarga?” Dimas menatap foto itu, bibirnya terbuka sedikit tapi tidak bersuara, “Bang, lo ga curiga?”

Lihat selengkapnya