“Bang, cepetan buka petinya!” teriak Dimas, nadanya pecah di tengah hujan. Dia menjatuhkan sekopnya ke tanah becek, tangannya gemetar mencari alat untuk membuka peti.
Tangan Rian mencengkeram cangkul lebih erat. Kaosnya menempel, otot pundaknya menegang “Pake apa buat buka paku-pakunya?!” tanyanya, matanya liar menyapu area sekitar.
Dimas merogoh tas peralatannya yang tergeletak di samping tumpukan tanah, mengeluarkan linggis. “Ini!” Dimas melemparkan linggis ke Rian.
Rian menangkap linggis itu, langsung menjatuhkan cangkul dan berlutut di samping peti. “Bantu pegang petinya, Dim!” perintahnya, suaranya tegas meski ada sedikit getar. Ujung linggis mencongkel kayu, satu paku loncat dengan bunyi keras. Rian menggigit bibir, tangan kirinya bergetar.
Suara ketukan dari dalam semakin lemah, diselingi isak tangis. Dimas mencengkeram sisi peti, matanya tak berkedip. Rian menahan napas, keringat dingin menyatu dengan air hujan. “Tahan, tahan bentar lagi!” teriak Rian ke arah peti.
Dimas menahan sisi peti dengan kedua tangan, tubuhnya ikut bergetar tiap kali linggis mencabut paku. “Bang, buruan! Suaranya makin pelan!” Matanya terus melirik peti, bibirnya tertutup rapat, nafasnya pendek.
Paku terakhir lepas, Rian mendorong tutup peti dengan sekuat tenaga. Rian mundur setengah langkah. Dimas membeku, matanya terpaku, mulutnya terbuka tanpa suara.
Seorang pemuda tergeletak di dalam peti, wajahnya pucat, matanya terbelalak. Mulutnya terbuka lebar, dadanya naik turun. Kemeja putih kusut, robek, berlumur tanah dan darah kering. Jari-jarinya berdarah, kuku-kukunya patah. Dia bergerak lemah, mencoba bangkit dari peti dengan tangan yang gemetar.
Rian menjatuhkan linggis, buru-buru meraih lengannya, menahan tubuhnya yang hampir roboh. Pemuda itu merangkak keluar, kakinya terseret di sisi peti, meninggalkan goresan lumpur di kayu. Tubuhnya gemetar, napasnya tersengal.
Rian memegang pundaknya, membantu pemuda itu menjauh dari peti. “Tenang, Mas. Mas udah aman sekarang,” katanya, nada suaranya turun, pelan dan berat.
Pemuda itu jatuh, lututnya ambruk. Dia duduk dengan punggung bersandar pada tumpukan tanah di samping lubang kubur.
Air hujan mengalir di wajahnya, mencampur kotoran dan darah kering. Matanya liar, menatap Dimas dan Rian, tangannya mencengkeram lumpur, menggali tanah becek dengan jari-jari gemetar. Tubuhnya meringkuk, lututnya ditarik ke dada.
Rian berlutut di depannya, matanya penuh kewaspadaan. “Nama Mas siapa?” tanyanya.