Pada tanggal 09 Desember 2050, kota A masih tenang dan damai, meski malam itu pukul 00.00 terjadi sesuatu yang menggemparkan. Di tengah gelapnya malam, sebuah ledakan besar mengguncang kota. Ledakan itu berasal dari sebuah kantor penelitian rahasia yang terletak di pusat kota A, tempat berbagai eksperimen ilmiah dilakukan. Namun, tidak ada satu pun orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Ledakan itu menciptakan getaran hebat, menyerupai gempa bumi, menyebar ke seluruh penjuru kota. Sebagian besar penduduk kota, yang terlelap tidur, tidak merasakan getaran tersebut. Namun, bagi segelintir orang yang masih terjaga, getaran itu jelas terasa. Mereka merasakan seolah-olah bumi sedang bergerak di bawah kaki mereka.
Pagi harinya, kota A terlihat seperti biasanya. Matahari pagi bersinar cerah, kehidupan berjalan dengan normal, dan tidak ada tanda-tanda bahwa malam sebelumnya telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Tidak ada laporan tentang ledakan atau gempa di televisi, tidak ada berita di surat kabar, dan bahkan di media sosial, kota ini sunyi dari pembicaraan tentang apa yang terjadi. Pemerintah, yang memiliki kendali penuh atas informasi di kota A, dengan cepat menutup rapat-rapat insiden tersebut dari publik. Mereka menyembunyikan kenyataan bahwa kantor penelitian tersebut telah meledak. Para pejabat takut bahwa berita ini akan memicu kepanikan massal. Jadi, mereka memutuskan untuk menguburnya dalam-dalam.
Namun, sebagian kecil penduduk yang merasakan getaran mulai berbicara. Mereka menceritakan pengalaman mereka kepada orang lain, berharap mendapatkan penjelasan. Ada bisik-bisik di antara tetangga dan rekan kerja tentang "gempa" yang terjadi pada tengah malam. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang percaya. Tanpa ada laporan resmi, tanpa ada liputan berita, dan dengan sebagian besar warga kota tidak merasakan apa pun, cerita itu terdengar seperti imajinasi liar. Mereka yang membicarakan hal itu hanya dianggap sebagai orang yang terlalu paranoid atau kebingungan.
Pagi itu, Laras, seorang gadis remaja yang selalu bersemangat untuk belajar, sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Ia berpamitan kepada ayah dan ibunya, seperti biasa, sebelum melangkah keluar dari rumahnya. Kota A pagi itu terlihat damai, tidak ada tanda-tanda bencana atau insiden aneh. Laras tidak merasakan ada yang salah; baginya, ini adalah pagi biasa yang ia habiskan dengan rutinitas sehari-hari.
Saat berjalan di pertengahan jalan menuju sekolah, Laras bertemu dengan Bima, salah satu teman dekatnya. Bima adalah ketua OSIS di sekolah dan seorang ahli bela diri yang sangat dihormati di kalangan siswa. Meski memiliki tanggung jawab besar di sekolah, Bima selalu tampil tenang dan bersahabat. Mereka sering berjalan bersama menuju sekolah, dan pagi ini tidak berbeda. Saat mereka berjalan, Bima mulai berbicara tentang kabar yang didengarnya.
“Laras, kamu dengar gak, semalam ada yang bilang kota ini diguncang gempa?” tanya Bima dengan nada serius.
Laras menoleh ke arahnya, alisnya terangkat sedikit. "Gempa? Nggak, aku nggak dengar apa-apa. Kenapa?”
Bima mengangguk pelan. "Beberapa orang bilang mereka merasakan getaran semalam. Tapi anehnya, tidak ada berita di TV atau media sosial. Nggak ada yang membahasnya. Kamu pikir apa?”