Setelah berhasil mengalahkan zombie pertama, Bima, Laras, Fera, dan Andre terus menyusuri lorong sekolah dengan kewaspadaan tinggi. Masing-masing dari mereka kini semakin menyadari betapa genting situasi ini. Di tengah ketegangan yang kian terasa, tanpa sengaja, Laras tersandung sesuatu di lantai dan nyaris jatuh. Bima, yang berjalan paling dekat dengannya, dengan sigap menangkap Laras dan menahan tubuhnya agar tetap berdiri.
“Pelan-pelan, Laras. Kalau kamu cedera, kita malah tambah repot,” ucap Bima dengan nada serius, tetapi lembut.
Laras menatapnya dan memberikan anggukan kecil. Ada rasa syukur yang terpancar di wajahnya, dan untuk pertama kalinya, dia merasakan ketenangan di tengah kekacauan ini. Mereka melanjutkan langkah, hingga akhirnya tiba di tangga menuju lantai bawah yang tampak sepi. Ketika mereka turun perlahan-lahan, suara langkah kaki mereka bergema samar.
Di ujung tangga, mereka disambut oleh pemandangan yang mengejutkan: satu zombie berdiri tepat di bawah tangga, menghalangi jalan mereka. Zombie itu adalah seorang guru yang sebelumnya mereka kenal. Sosoknya yang kini berubah membuat mereka merasa ngeri, terutama bagi Laras yang tidak siap menghadapi serangan langsung.
Zombie itu bergerak ke arah mereka, mengeluarkan suara menggeram yang serak. Laras merasakan kakinya sedikit gemetar, dan ia secara refleks mundur, berdiri di belakang Bima.
Bima mengencangkan pegangan di tongkat baseball yang diambilnya dari ruang olahraga tadi. Ia maju selangkah, menghadang zombie itu dengan tegas, seolah menjadi pelindung bagi Laras. "Jangan khawatir, Laras. Aku yang akan menghadapinya."
Dengan penuh keberanian, Bima menghantam kepala zombie itu dengan ayunan yang kuat. Zombie itu terhuyung, tetapi tidak jatuh. Makhluk itu terus bergerak maju, mencoba menyerang Bima. Laras menyaksikan semua ini dengan cemas, hatinya berdebar kencang melihat bagaimana Bima bertarung mati-matian demi melindunginya.
“Bima, hati-hati!” seru Laras, memperingatkan ketika zombie itu melancarkan gerakan cepat yang hampir menyerangnya.
Bima menghindar, lalu segera mengayunkan tongkatnya sekali lagi, kali ini dengan lebih kuat. Tongkat itu menghantam kepala zombie hingga terdengar suara patahan, dan akhirnya, makhluk itu jatuh ke lantai tanpa bergerak lagi. Bima mengambil napas dalam, menenangkan dirinya setelah konfrontasi yang menguras energi dan keberaniannya.
“Terima kasih, Bima,” ucap Laras dengan suara lembut, penuh rasa syukur. Matanya menatapnya dalam-dalam, seolah baru menyadari betapa besar perhatian Bima terhadapnya.
“Tidak usah sungkan, Laras. Selama aku di sini, aku akan melakukan apa pun untuk memastikan kamu selamat,” jawab Bima sambil tersenyum tipis. Ada ketulusan yang jelas di matanya, yang membuat Laras merasa lebih aman.
Rasa syukur dan kekaguman yang baru tumbuh terhadap Bima mulai meresap dalam hati Laras. Selama ini, mereka memang sering berteman dekat, tetapi di saat-saat genting ini, Laras melihat sisi lain dari Bima yang penuh keberanian dan kepedulian. Keberaniannya tak hanya membuatnya kagum, tetapi juga mulai menumbuhkan perasaan yang berbeda di dalam hatinya.
Fera dan Andre yang memperhatikan mereka saling bertukar pandang, sedikit tersenyum melihat interaksi yang mulai hangat antara Laras dan Bima.
“Ayo, kita harus lanjut,” kata Fera, mencoba mengalihkan suasana agar mereka segera fokus pada rencana untuk keluar dari sekolah.
Namun, Laras tak bisa sepenuhnya mengalihkan pikirannya dari momen barusan. Ketika mereka bergerak kembali, ia berjalan lebih dekat di samping Bima, merasa sedikit lebih aman dengan keberadaannya. Setiap kali zombie muncul atau suara aneh terdengar dari kejauhan, ia secara refleks mendekat padanya, dan Bima pun selalu menanggapi dengan menenangkan.
Mereka tiba di ruang laboratorium yang sudah lama tak digunakan, dan Fera mengusulkan untuk bersembunyi sementara waktu di sana untuk menyusun rencana selanjutnya. Ruangan itu cukup luas dan tampaknya aman untuk sementara. Ketika mereka masuk, Laras dan Bima berdiri berdekatan di salah satu sudut, berbicara pelan.