Saat kelompok mereka terus melangkah melewati lorong-lorong gelap di ruang bawah tanah, Fera memperhatikan interaksi antara Bima dan Laras. Setiap kali Laras terlihat ketakutan atau lengah, Bima dengan refleks melindungi dan menguatkannya. Hal ini membuat Fera merasa ada jarak yang semakin membesar antara dirinya dan Bima, perasaan cemburu mulai merasuki pikirannya di tengah situasi genting tersebut.
Mereka berhenti sejenak di depan pintu tua yang berkarat, tempat mereka memutuskan untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian jalan keluar. Saat mereka duduk di lantai yang dingin dan kotor, Fera berusaha mengendalikan perasaannya yang semakin mendidih.
Andre yang selalu penuh canda berusaha mencairkan suasana. “Kapan terakhir kali kita berpiknik di ruang bawah tanah seperti ini?” ujarnya dengan senyum lemah, berusaha mencairkan ketegangan.
Semua tertawa kecil, namun Fera tetap diam, masih sibuk dengan pikirannya. Tanpa sadar, Laras tersenyum pada Bima saat ia menawarkan minum dari botol yang mereka bawa. Fera merasakan amarahnya makin berkecamuk.
Merasa tidak tahan lagi, Fera akhirnya berbicara dengan nada yang sedikit ketus, “Jadi, kita sekarang hanya akan terus melangkah tanpa rencana jelas?” Semua menoleh ke arahnya, kaget dengan nada suaranya yang tiba-tiba berubah.
Bima menatapnya, mencoba meredam kebingungan. “Fera, aku tahu kita semua lelah, tapi ini rute terbaik yang kita punya. Kita akan mencari jalan keluar secepat mungkin.”
Fera melirik Laras sekilas dengan tatapan dingin sebelum berbisik, “Kau selalu tahu apa yang terbaik, ya?” Kata-kata itu membuat semua orang menahan napas. Andre, yang sadar akan kecanggungan itu, segera mengalihkan perhatian dengan bertanya kepada Bima tentang peta.
Melanjutkan perjalanan, Fera yang berjalan di belakang terus memperhatikan Laras dan Bima. Perhatiannya bukan lagi pada zombie atau keselamatan dirinya, tetapi pada bagaimana Bima seolah mengabaikannya sejak Laras berada di sekitar mereka. Di sepanjang lorong, pikirannya berkecamuk antara perasaan kecewa dan marah.
Namun, tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat dari arah belakang mereka. Seorang zombie mendekat dengan perlahan tapi pasti, tubuhnya setengah hancur dan menyeret kakinya di lantai beton. Zombie itu mengeluarkan suara parau yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.
“Kita harus cepat! Jangan buat suara keras!” bisik Bima kepada mereka semua.
Saat mereka mencoba bergerak lebih cepat, Fera tersandung di lantai. Laras dengan refleks meraih tangannya, menahannya agar tidak jatuh. Dalam sekejap, Fera merasakan campuran rasa terima kasih dan kemarahan yang sama besarnya.
“Terima kasih,” bisik Fera singkat tanpa melihat Laras.
Mereka berhasil melewati zombie itu tanpa menarik perhatian, melangkah dengan lebih hati-hati menuju sebuah pintu besar di ujung lorong. Saat mereka sampai, Bima memeriksa pintu tersebut dan dengan hati-hati mendorongnya, berharap menemukan ruangan yang aman.
Di balik pintu tersebut, mereka menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi lemari besi dan meja-meja berdebu, sepertinya bekas ruang penyimpanan dokumen. Di sudut ruangan, Bima mengarahkan mereka untuk beristirahat sejenak.