Di tengah kekacauan dan ketegangan, Bima dan kelompoknya berusaha sekuat tenaga untuk menyusun strategi keluar dari sekolah yang kini penuh bahaya. Namun, di tengah usaha mereka bertahan, ada ketegangan lain yang tak kalah rumit: perasaan Fera terhadap Bima yang selama ini ia pendam. Meskipun situasi darurat, rasa takut kehilangan justru memperkuat keinginan Fera untuk mengungkapkan isi hatinya.
Sementara mereka mencari ruang yang aman, Bima tanpa sadar menunjukkan perhatian yang lebih kepada Laras. Tatapan khawatir dan sikap protektifnya jelas terlihat saat ia berdiri di depan Laras, melindunginya setiap kali ada suara mencurigakan atau tanda bahaya di lorong sekolah. Gestur ini tidak luput dari perhatian Fera, yang mulai merasakan kecemburuan.
Setelah menemukan ruang kosong di perpustakaan yang cukup tenang, kelompok itu duduk sebentar untuk beristirahat. Dalam keheningan itu, Fera tak bisa lagi menahan perasaannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mengarahkan tatapannya pada Bima.
“Bima, bisa bicara sebentar?” tanyanya dengan nada serius.
Bima, yang tidak menyadari perubahan di wajah Fera, mengangguk dan mengikuti Fera ke sudut ruangan, sedikit menjauh dari Laras dan yang lainnya.
“Ada apa, Fer?” tanya Bima, masih dengan ekspresi polos.
Fera menunduk sejenak, menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. Akhirnya, ia mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Bima, aku sudah lama ingin bilang… aku suka sama kamu,” katanya dengan suara sedikit gemetar.
Bima terlihat terkejut. “Fera… aku…,” ia mulai, lalu berhenti sejenak, tampak bingung harus berkata apa.
Melihat reaksi Bima yang ragu, Fera mencoba menahan kecewa, tetapi rasa ingin tahunya tak bisa ia pendam lagi. “Jadi, apa kamu sama sekali nggak pernah punya perasaan yang sama?” tanyanya, suaranya mulai melemah.
Bima menghela napas, mengusap tengkuknya dengan canggung. “Fera, kamu adalah teman yang baik, dan aku sangat menghargaimu… tapi aku rasa perasaanku nggak sama seperti yang kamu harapkan. Aku…,” ia tampak ragu, namun akhirnya mengakui, “aku lebih tertarik sama Laras.”
Kata-kata Bima terasa seperti tusukan di hati Fera. Ia menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Jadi, selama ini aku nggak ada artinya buat kamu?” tanyanya pelan.