Setelah berhasil keluar dari sekolah, mereka berlindung di bangunan kosong dekat sekolah untuk sementara. Malam semakin larut, keheningan berubah mencekam, dan hanya napas serta detak jantung mereka yang terdengar jelas di tengah bayangan kegelapan. Saat itu, kedekatan antara Bima dan Laras semakin kentara. Bima tampak selalu waspada untuk memastikan Laras aman, berdiri paling dekat dengannya saat bergerak, dan selalu menanyakan keadaannya.
“Aku masih nggak percaya kita bisa keluar dari sekolah tadi,” bisik Laras kepada Bima, masih terengah-engah dan sedikit gemetar.
Bima menatapnya dan tersenyum menenangkan. “Kita pasti bisa keluar dari sini, Laras. Kita harus tetap bersama dan jangan biarkan mereka membuat kita terpisah.”
Tatapan Bima yang penuh perhatian membuat Laras merasa sedikit tenang, namun di sisi lain, Fera merasa terasing. Sejak mereka bersembunyi bersama di tempat ini, Fera sudah berusaha menyembunyikan perasaan cemburunya. Namun, melihat kedekatan Bima dengan Laras, membuat perasaannya semakin kacau.
Dalam kebisuan yang mencekam, mereka duduk saling merapat, mencoba mengumpulkan tenaga dan keberanian. Fera sesekali melirik ke arah Bima yang sedang berbicara pelan dengan Laras, membuatnya semakin merasa terabaikan. Ia tak tahan lagi, lalu tanpa bisa menahan emosinya, ia berkata, “Bima, kamu tuh sejak tadi perhatian terus sama Laras! Gimana kalau yang lain juga butuh bantuan?”
Suasana yang tadinya hening mendadak berubah. Bima terkejut mendengar nada suara Fera yang terdengar getir, dan Andre menatap mereka, tidak ingin ada konflik yang dapat mengganggu rencana mereka.
“Fera, aku cuma ingin pastikan semua orang aman. Itu termasuk kamu dan Andre juga,” jawab Bima, berusaha menenangkan Fera dengan nada suara yang lembut.
Namun, Fera tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. “Kalau gitu, kenapa kamu cuma perhatiin Laras? Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk ngomong ini, tapi aku nggak tahan lagi, Bima. Aku—aku peduli sama kamu, tapi kamu cuma ngeliat Laras.”
Pengakuan Fera membuat Laras terkejut. Ia tidak tahu bahwa Fera memiliki perasaan seperti itu terhadap Bima. Dengan gugup, Laras mencoba meredakan situasi. “Fera, aku... aku nggak bermaksud…”
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan kata-katanya, terdengar suara aneh dari arah luar persembunyian mereka. Suara langkah kaki yang terseret mendekati pintu. Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Dalam ketegangan itu, mereka tahu apa yang akan mereka hadapi lagi.
“Zombie… mereka ada di sini!” bisik Andre, matanya melotot.