Malam semakin larut, dan atmosfer di sekitar kelompok itu semakin mencekam. Mereka berlima—Bima, Laras, Fera, Andre, dan Raka—baru saja berhasil keluar dari tempat persembunyian terakhir mereka setelah serangan mendadak zombie. Namun, di tengah-tengah kesatuan yang mulai terbangun, Fera merasa ada jarak yang tak bisa diatasi. Kedekatan antara Bima dan Laras terus-menerus mengganggunya, seperti duri yang menghunjam dalam-dalam. Setiap kali ia melihat Bima berbicara lembut kepada Laras atau menatapnya dengan perhatian, hatinya semakin sesak dan marah. Fera tahu perasaannya membuatnya semakin terisolasi, bahkan di antara teman-temannya.
Mereka bergerak perlahan menyusuri koridor panjang yang sudah lama tak terawat, penuh dengan puing-puing dan sisa-sisa kegiatan manusia yang tak sempat diselamatkan. Dinding penuh coretan panik, mungkin tulisan terakhir dari orang-orang yang pernah terjebak di sana. Bau busuk bercampur dengan aroma lembap dan besi menyengat, menciptakan atmosfer menyeramkan yang menyesakkan dada mereka. Suara langkah kaki zombie yang berat dan menyeret semakin mendekat dari kejauhan, memperkuat ketegangan yang semakin memuncak.
Bima berbisik pelan, "Kita harus melewati koridor ini kalau mau keluar dari gedung ini. Kita nggak punya pilihan lain."
Laras menelan ludah, menatap ke arah ujung koridor yang gelap, tempat beberapa zombie terlihat mondar-mandir dengan tubuh kaku dan langkah yang lambat. Jumlah mereka cukup banyak, dan setiap gerakan yang salah bisa mengundang perhatian mereka. Tanpa ragu, Bima maju pertama, diikuti oleh yang lainnya dengan hati-hati.
“Pelan-pelan... jangan buat suara sedikit pun,” bisik Andre, meskipun suaranya terdengar gemetar. Fera yang berada di posisi tengah kelompok hanya diam, menatap punggung Laras dan Bima yang tampak bergerak selaras. Ketegangan itu bercampur dengan rasa cemburu yang semakin dalam.
Dalam keheningan yang memekakkan, Fera mulai memikirkan berbagai kemungkinan. Di benaknya muncul bayangan untuk melanjutkan sendiri perjalanan ini tanpa mereka. Mungkin ia akan punya peluang lebih besar untuk bertahan jika keluar dari bayang-bayang mereka, khususnya Laras yang telah merebut perhatian Bima. Namun, ia tahu keputusan itu berisiko tinggi, dan ada ketakutan mendalam tentang bertarung sendirian.
Namun, pikiran itu terus menghantui, terutama ketika melihat Bima selalu menjaga Laras, memberikan perhatian yang seolah-olah Fera tak pernah dapatkan. Ia merasa seolah-olah menjadi orang asing di tengah kelompoknya sendiri. Dia merasa diabaikan, tak dianggap, dan ini semakin memantapkan niatnya.
Saat mereka mencapai titik tengah koridor, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari pintu sebelah kanan. Jantung mereka berdebar keras ketika melihat pintu itu bergerak perlahan, dan kepala zombie muncul dari balik pintu yang terbuka sedikit. Laras hampir berteriak, tapi Bima segera memegang tangannya dan mengisyaratkan agar tetap diam. Mereka semua menahan napas, mencoba untuk tidak menarik perhatian.
Namun, ketika mereka mulai bergerak lagi, Raka yang berada di belakang tak sengaja menginjak pecahan kaca di lantai. Suara keras itu langsung menarik perhatian beberapa zombie di sekitar koridor. Mata mereka yang kosong langsung menatap ke arah kelompok tersebut, dan perlahan-lahan para zombie mulai bergerak mendekat, menyeret kaki mereka dengan suara yang menakutkan.
“Lari! Sekarang!” Bima berteriak dengan suara pelan namun tegas, segera menarik Laras dan memimpin kelompok untuk berlari menuju ujung koridor. Namun, zombie yang sudah terganggu suara itu mulai bergerak lebih cepat dari yang mereka duga.
Fera, yang berada di tengah-tengah, merasa kewalahan. Dalam keadaan kacau itu, ia melihat celah kecil di sisi lain koridor yang mungkin bisa dijadikan jalan keluar untuk dirinya sendiri. Tanpa banyak berpikir, Fera dengan cepat berlari ke arah tersebut, meninggalkan yang lain tanpa memberi tahu.