Setelah pesan dari ibunya malam itu, Reza tidak membuka aplikasi chatting selama tiga hari. Ia bukan takut dimarahi tapi ia takut melihat kenyataan bahwa semua orang mulai tahu: dia sedang jatuh.
Namun, rasa takut itu tidak lebih besar dari satu hal: dorongan untuk menang.
Uang.
Ia butuh modal lagi. Tagihan terus berdatangan. Notifikasi utang masuk tiap pagi. Tapi pikirannya hanya satu:
"Kalau gua bisa dapet 10 juta sekali main, semua ini selesai. Beres. Bersih."
Motor tua satu-satunya hadiah dari ibunya saat awal kerja jadi target. Ia bawa ke tempat gadai di belakang pasar.
"Gadai aja, Bang. Nanti gua tebus minggu depan."
Uang yang didapat: Rp2,5 juta.
Separuh langsung didepositkan ke akun permainan. Separuh disimpan... untuk jaga-jaga. Tapi seperti bisa ditebak yang disimpan itu akhirnya ikut hilang juga.
Belum sampai malam, saldo habis. Lagi.
Dan untuk pertama kalinya, ia mulai berbohong secara sadar.
Ia datang ke kosan Dani. Wajahnya kusut, tapi suaranya tenang penuh rekayasa.
"Dan, gua butuh tolong banget. HP gua ilang. Ada kerjaan freelance yang udah gua kelarin, tinggal cair. Tapi gua butuh duit buat urus dokumen dan transport."
Dani menatapnya dalam.
"Serius lo? Lu yakin bukan buat main lagi?"
Reza pura-pura tersinggung.
"Gila ya lo. Lu kira gua segila itu? Hidup gua udah hancur segininya, masa gua masih ngulangin?"
Dani akhirnya menyerah. Ia transfer Rp750 ribu.
Reza tersenyum.
"Gua balikin minggu depan. Makasih banget, Dan. Bener-bener makasih."
Tapi dalam hatinya, suara lain berbisik:
"Deposit sekarang. Jangan tunggu besok. Ini bisa jadi malam keberuntungan."
Dua jam kemudian, uang itu hilang. Lagi.
Anehnya, Reza tak merasa bersalah. Ia mulai terbiasa menyakiti orang yang peduli.
Malam-malam di kamarnya kini penuh tawa sendiri yang terdengar gila. Ia tertawa saat menang seratus ribu, lalu melempar barang saat kalah sejuta.
"GUA NGGAK BISA TERUS BEGINI!"
Ia teriak ke udara kosong. Tapi tetap… malam itu ia main lagi.
Ketika hidup jadi taruhan, nurani adalah hal pertama yang tergadaikan.
Dan Reza… kini tak sadar kalau dirinya telah jadi pemain yang rela kehilangan segalanya, bahkan kepercayaan orang-orang tercintanya.
Tengah malam, kamar kos Reza gelap dan lembab. Hanya cahaya dari layar ponsel yang menerangi wajahnya. Matanya merah, napasnya berat. Di tangan: saldo terakhir Rp850.000 sisa hasil minta-minta di grup dan kembalian dari warung.
"Harus jadi duit. Malam ini. Gua gak punya besok."
Ia buka aplikasi favoritnya. Tangannya otomatis memilih “buy spin.” Otaknya kosong, tapi jarinya lincah seolah tubuhnya sudah dilatih untuk ini.
Klik.