Rungkad: Jalan Terjal Menuju Sukses Sebagai CEO

Arka Zayden
Chapter #6

Bagian 6: Tak Perlu Suci untuk Kembali

Hujan semalam belum benar-benar reda. Titik-titik air masih tertahan di kusen jendela, menggantung seperti kenangan yang belum selesai. Udara pagi itu lembap dan dingin, menusuk kulit, tapi tak sebanding dengan sunyi yang menggulung dalam dada Reza.

Ia membuka matanya perlahan. Masih di lantai, masih berselimutkan jaket tua yang sudah kehilangan kehangatannya. Punggungnya nyeri. Pinggangnya kaku. Tapi kali ini, rasa sakit fisik bukan yang paling terasa. Ada sesuatu yang lebih dalam rasa sadar.

Sadar bahwa kalau ini terus dibiarkan, bukan cuma masa depan yang hilang. Tapi dirinya sendiri juga ikut tenggelam.

Ia duduk perlahan, bersandar ke tembok yang mulai berjamur. Memandang ke sekeliling: dinding lembap, ember tampung air bocor, tumpukan pakaian tak terlipat, dan ponsel satu-satunya benda yang selalu menemaninya dalam setiap kekalahan.

Tangannya meraih ponsel. Layar menyala.

Deretan ikon aplikasi muncul. Warnanya mencolok. Aplikasi permainan, forum daring yang penuh janji instan, dan dompet digital yang tak lagi punya saldo. Semuanya masih setia berbaris. Seolah memanggil. Menggoda. Mengajak bermain lagi. Mengajak lari lagi.

Dan jari Reza berhenti. Melayang di atas satu ikon permainan.

Hening.

Ia tahu betul sensasi ini. Seperti berdiri di tepi jurang yang dulu selalu ia lompatin tanpa pikir panjang. Tapi pagi ini beda. Ada suara kecil di dalam kepala. Suara yang sudah lama ia abaikan.

"Lo yakin, Reza? Lo yakin mau terus gini? Lo nggak capek?"

Ia mengingat malam sebelumnya. Tangisan diam-diam. Suara ibu dari pesan suara lama. Kalimat yang ia tulis di buku bekas kuliah: "Gua mau berubah. Walaupun pelan. Tapi gua harus mulai."

Tangannya gemetar. Tapi tetap bergerak.

Tahan. Geser. Hapus.

Muncul notifikasi:

"Apakah Anda yakin ingin menghapus aplikasi ini?"

Kalimat itu seperti pertanyaan dari semesta. Pertanyaan yang lebih dalam dari yang terlihat.

"Lo yakin ninggalin semua rasa candu yang lo anggap pelarian itu?"

Ia menutup mata sejenak. Lalu membukanya. Dan menjawab dalam hati:

"Iya... gua yakin."

Klik. Hilang.

Satu.

Tidak ada suara gemuruh. Tidak ada sorak-sorai. Tapi bagi Reza, itu seperti merobohkan tembok penjara yang ia bangun sendiri.

Ia lanjut. Grup obrolan daring. Forum-forum ilusi cepat kaya. Aplikasi tempat ia mencari utang, kalah, dan jatuh lagi.

Satu demi satu, ia hapus. Tangannya mantap, walau dadanya bergetar.

Dan saat layar ponselnya kini kosong dari "teman-teman lama" itu, Reza mematung. Menatap kosong.

Tidak menangis. Tidak juga tertawa. Tapi ada yang aneh seperti beban yang sudah menempel lama... akhirnya dilepaskan.

Lega.

Bukan karena masalah selesai. Bukan karena utangnya lunas. Tapi karena hari ini, ia berhenti memberi makan kehancuran.

Ia berdiri, berjalan pelan ke cermin kecil di sudut kamar. Cermin itu buram. Bingkainya retak. Tapi cukup untuk melihat sosok di baliknya.

Wajah kusut. Rambut lepek. Mata sembab.

Tapi... ada cahaya kecil di matanya. Cahaya yang dulu pernah ada. Cahaya yang lama padam dan kini mulai menyala lagi, walau redup.

Ia bicara pelan ke dirinya sendiri. Kalimat yang sederhana, tapi dalam:

Lihat selengkapnya