Rungkad: Jalan Terjal Menuju Sukses Sebagai CEO

Arka Zayden
Chapter #7

Bagian 7: Upah Pertama, Harga Diri yang Pulih

Hari-hari setelah itu berjalan lambat, tapi tidak kosong. Reza mulai mengisi waktunya dengan hal-hal kecil bangun lebih pagi, mandi sebelum siang, dan tak lagi memandangi layar ponsel tanpa arah. Ada ruang kosong dalam hidupnya yang dulunya penuh dengan notifikasi-notifikasi tak bermakna. Sekarang, ruang itu perlahan diisi ulang… dengan niat untuk bertahan.

Namun, bertahan saja tak cukup tanpa penghasilan. Perut tetap harus diisi, utang tetap menunggu.

Pagi itu, Reza duduk di emperan toko kelontong dekat pasar. Ia sudah keliling dari pagi, menanyakan ke beberapa warung, kios pulsa, bahkan tempat tambal ban.

Semua jawabannya mirip:

"Maaf, belum butuh orang."

"Nggak ada gaji, tapi boleh bantu-bantu aja."

"Kamu pernah kerja sebelumnya?"

Dan saat ditanya soal pengalaman, Reza hanya bisa tersenyum kaku. Mau jawab jujur? Pernah kerja di dunia yang gelap dan penuh angan palsu?

"Saya bisa bantu beres-beres. Apa aja deh, asal halal."

Lapar mulai mengetuk. Tapi lebih dari itu, harga dirinya mulai diuji.

Sampai akhirnya ia masuk ke sebuah warung makan sederhana, tempat seorang ibu tua sedang mengelap meja. Warung itu belum buka. Reza berdiri di depan, menunduk.

"Bu, saya Reza. Nggak ada kerjaan sekarang. Kalau Ibu butuh bantuan nyuci piring atau ngangkat barang, saya siap. Nggak usah dibayar dulu juga nggak apa-apa."

Ibu itu menatapnya sejenak. Mungkin menilai. Mungkin iba. Tapi lalu ia tersenyum kecil.

"Besok pagi bantu saya buka warung jam enam, ya. Kita lihat dulu."

Reza mengangguk cepat.

"Siap, Bu. Terima kasih..."

Ia membungkuk, menahan air mata. Bukan karena dapat kerjaan besar. Tapi karena akhirnya... ada yang percaya.

Di jalan pulang, perutnya masih lapar. Tapi ada yang lain yang mengenyangkan: rasa bahwa ia belum sepenuhnya habis. Masih ada ruang di dunia ini buat dirinya yang ingin memperbaiki segalanya.

Keesokan harinya, langit masih gelap saat Reza tiba di warung. Jam belum menunjukkan pukul enam, tapi ia sudah berdiri di depan pintu, mengenakan kaos polos dan celana panjang paling rapi yang ia punya. Napasnya mengembus uap dingin, dan tangan di saku celana bergetar menahan gugup.

Ibu pemilik warung, yang belakangan ia tahu bernama Bu Retno, muncul dari dalam dengan celemek tergantung di leher. Wajahnya tampak lelah, tapi tersenyum saat melihat Reza.

"Datang juga. Ayo, bantu angkat galon dulu."

Tanpa banyak tanya, Reza segera mengangkat dua galon air ke dalam dapur. Lalu lanjut membersihkan meja-meja yang penuh debu, menyusun bangku plastik, dan merapikan etalase kaca yang memajang lauk-pauk.

Tangan Reza kaku, karena sudah lama ia tidak bekerja fisik. Tapi ia tak mengeluh.

"Nasi bungkus udah siap. Nanti bantu bungkusin juga ya, biasanya banyak yang ambil sebelum jam tujuh."

Reza mengangguk.

Dapur itu sempit, panas, dan wangi bawang goreng menyeruak di antara panci-panci besar. Reza diberi tugas membungkus nasi, memasukkan lauk, dan melipat kertas minyak. Di tengah kegiatan itu, Bu Retno sesekali memperhatikannya.

"Kamu belum sarapan ya?"

"Belum, Bu..."

Lihat selengkapnya