Berharap pada seseorang yang tidak mencintaimu, hanya membuat lelah. Hanya membuat usahamu menjadi sia-sia.
* * *
Geta merasakan kantuk yang hebat saat ini. Semalaman ia merawat mamanya, mengobati luka yang ada di pipi Ilana. Semestinya papanya tidak melakukan itu lagi kepada mamanya. Mereka sudah tidak bersama lagi dalam status pernikahan cukup lama, namun yang selalu Geta tidak suka adalah papanya terkadang kembali dan membuat mamanya menangis lagi dan lagi.
Hari ini Geta tidak fokus pada pelajaran di kelas, matanya selalu ingin terpejam. Bahkan berkali-kali ia menguap karena kantuk yang menyerangnya sudah sangat parah. Namun sebisa mungkin Geta tidak sampai tertidur karena bisa-bisa ia dihukum.
"Ta, istirahat!" teriak Reisa menyadarkan sahabatnya itu untuk segera pergi bersama-sama ke kantin. "Ayo, nanti ramai banget!"
Geta mengangguk, ia mengikuti langkah Reisa yang sudah berjalan lebih dulu. Reisa memperhatikan Geta dengan bingung. Ia memegang tangan cewek itu dengan erat karena Geta terlihat ingin pingsan detik itu juga.
"Kenapa lo kelihatan gak semangat gitu sih?" tanya Reisa cepat. "Lo ngantuk atau gimana? Lo semalam begadang?"
"Gue cuma gak bisa tidur aja semalam." Geta beralasan, berharap kalau Reisa menganggapnya hanya insomnia. Ia tidak ingin mengatakan kalau dirinya tidak tidur karena merawat mamanya yang terluka karena dipukul oleh papanya sendiri.
"Coba cari diinternet deh," balas Reisa. "Punya insomnia gak baik buat kesehatan lo, Ta. Apalagi sekarang lo kayak udah gak punya nyawa tau gak? Makin pucat aja muka lo."
Geta tersenyum mendengar itu, ia hanya mengangguk-angguk saja sebagai jawaban. Harapannya agar Reisa berpikir bahwa ia insomnia terkabul. Geta harus berterima kasih kepada Tuhan, setidaknya ia tidak harus membagi sedih ini kepada orang lain. Dengan harapan lain, kesedihan ini juga pergi dari hidupnya.
Sampai di kantin, dugaan Reisa benar karena kantin sudah membeludak ramainya. Di setiap stan makanan sudah berbaris yang membeli. Geta merasakan cewek itu menghela napas, sementara Geta sendiri memperhatikan sekitar dengan rasa kantuknya yang perlahan berkurang.
Tetapi saat Geta menoleh ke arah meja yang sudah berkumpul oleh beberapa cowok yang tampak sedang tertawa. Tawa yang sama seperti saat Geta berada di toilet laki-laki saat itu. Semakin memperjelas ketika mereka juga menatap ke arah Geta.
"Geta," panggil salah satu dari mereka. "Lo gak ke toilet cowok lagi?"
"Apa perlu gue ajak Maherjuna supaya lo mau datang?"
Geta menautkan alisnya mendengar itu. "Nggak, Makasih!" tegasnya mencoba berlalu pergi.
Namun ketika kakinya melangkah, tangannya ditahan begitu saja. "Ayolah! Gak usah tunggu Maherjuna juga lo boleh masuk! Gak akan diketawain. Serius. Percaya sama gue!"
Geta dengan cepat menepis, menjauhkan tangan menjijikkan itu dari dirinya. "Gue bilang nggak ya nggak! Tutup mulut lo, Berengsek!" teriaknya kesal.
Beberapa orang di sekitarnya berhenti dan menatap Geta bertanya-tanya. Apalagi Reisa yang terkejut ketika sahabatnya masih ada di belakang. Reisa mendekat ke Geta. "Ta, ada apa?"
Geta menggeleng pelan. Entah kenapa ketika dirinya marah, ia merasa seakan sudah menghabiskan seluruh tenaga di dalam tubuhnya. Apalagi keadaannya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Geta merasakan tubuhnya seperti melayang dan gemetar.