Tidak semua orang yang tampak bahagia, benar-benar bahagia. Beberapa tertawa hanya agar tidak menangis.
* * *
Maherjuna berjalan menuruni anak tangga. Ia baru saja keluar dari kamar ketika mendengar suara barang terjatuh dan pecahannya yang terdengar nyaring. Ia langsung saja ke ruang makan untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana.
Namun yang ia lihat pertama kali adalah mamanya, beliau sedang merapikan beberapa pecahan gelas yang berserakan di lantai. Sementara pandangannya berhenti pada papanya yang duduk saja memperhatikan istrinya itu dengan diam.
"Ma?" panggil Maherjuna kepada mamanya. "Juna bantu."
Maurin, mamanya menggeleng pelan. "Mama bisa sendiri, Juna. Adik kamu gak sengaja jatuhin gelas ke lantai. Mama gak mau Vio terluka."
Maherjuna menarik tangannya lagi untuk membantu mamanya. Untuk kali ini ia menyadari mamanya tidak baik-baik saja. Adiknya? Vio? Viori? Viori sudah meninggal dari dua minggu yang lalu. Jika yang dimaksud mamanya itu Viori, sejak kapan Viori ada di rumah ini dan menjatuhkan gelas?
Sejak dua minggu yang lalu, Viori sudah tidak ada lagi di sekitar mereka.
Yael, papa Maherjuna tampak menunduk saja melihat keadaan istrinya yang seperti itu. Maherjuna juga tidak membantah atau mengatakan kenyataan kalau Viori sudah tidak ada di rumah ini lagi. Bahkan adiknya itu juga sudah tidak ada di dunia yang sama lagi dengan mereka.
"Juna panggil dokter ya, Ma?" ucap Maherjuna sekali lagi. "Mama pasti sakit."
"Juna," balas Maurin masih dengan nada yang terdengar baik-baik saja. Tapi tetap saja terlihat jelas dari wajahnya kalau mamanya itu tidak bisa melupakan putrinya. "Kalau mama ikut sakit, siapa yang jaga adik kamu? Gak ada yang bisa seharian jaga Vio, Juna. Kasihan adik kamu."
Maherjuna mengangguk pelan membiarkan mamanya membersihkan pecahan itu sampai bersih. Namun yang tidak ia duga, papanya bangkit begitu saja dari ruang makan tanpa mengatakan apa pun. Maherjuna mengikuti papanya, ia melihat Yael masuk ke dalam kamar dan keluar kembali dengan sebuah koper.
Jelas itu membuat Maherjuna sebagai anaknya kebingungan. "Papa mau ke mana?" tanyanya cepat. "Kenapa Papa bawa koper besar?"
"Papa sudah memutuskan untuk berpisah dengan mama kamu, Juna." Yael berbalik menghadap ke putranya itu. "Papa tidak bisa lagi bersama mama kamu."
Maherjuna membelalak mendengar itu. "Papa bercanda?" tanyanya tertawa pahit. "Papa gak lihat keadaan mama? Mama gak bisa sendirian gini, Pa. Papa gak lihat kalau mama belum bisa ikhlaskan kepergian Vio?"
"Papa sudah lihat semuanya. Papa juga sudah membicarakan perpisahan ini dengan mama kamu." Yael lagi dan lagi mengatakan hal yang tidak ingin Maherjuna dengar. "Tapi mama kamu sudah gila, Juna. Dia gak waras lagi. Bahkan ketika aku ingin berpisah darinya, dia hanya peduli dengan Vio yang sudah gak ada. Dia bicara seorang diri. Dan Papa malu punya istri seperti itu."
Kini Maherjuna terdiam kaku mendengar itu. Ia bahkan hanya seorang anak dari kedua orang tuanya, apalagi jika mamanya menyadari kalau suaminya itu mengatakan kata-kata yang begitu menyakitkan untuk didengar. Maherjuna tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan sedih berlipat yang dirasakan mamanya.
Ia bahkan sangat kehilangan Viori. Apalagi mamanya. Hingga kini Maurin juga kehilangan cinta dari suaminya.
Pasangan hidup yang sudah menemani mamanya selama ini.