Apakah itu ketakutanmu? Sendirian?
* * *
"VIOOOO!"
Mendengar teriakan itu membuat Maherjuna terbangun dari tidurnya. Cowok itu merasakan seseorang sudah menyadarkan dirinya untuk segera menghampiri apa yang terjadi. Biasanya ia tidak terbangun dari tidur saat langit saja masih gelap. Bahkan alarmnya juga belum berbunyi namun ia sudah melangkahkan kakinya ke luar kamar.
Maherjuna mencari asal suara itu, ia mengenalinya. Yang baru saja berteriak dengan keras adalah mamanya. Tapi Maherjuna bingung, ada apa jam seperti ini mamanya sudah sepanik itu?
Dengan langkah cepat, Maherjuna berhasil menemukan keramaian itu tepat di kamar Viori. Kamar adiknya yang kini terbuka dengan lebar, tidak banyak bicara Maherjuna sudah ada di depan pintu. Melihat apa yang sudah terjadi di depannya, ia sama sekali tidak bergerak ketika Yael, papanya menggendong Viori keluar dari kamar.
"Pa, ayo bawa Vio ke rumah sakit! Vio kesakitan, Pa!"
Maherjuna melihat mamanya menangis pagi itu. Sementara ia hanya bisa mengikuti ke mana orang tuanya membawa Viori pergi. Namun sebelum itu, Maherjuna kembali ke kamarnya untuk mengambil jaket dan kunci motor.
Selama perjalanan, ia mengikuti mobil orang tuanya dari belakang menggunakan motor. Mereka membawa Viori ke rumah sakit terdekat. Sebenarnya ini bukan kali pertama Viori jatuh pingsan, makanya Maherjuna tidak terlalu terkejut. Tapi ia tetap tahu adiknya akan dilarikan ke rumah sakit juga.
Sudah hampir tiga tahun, kondisi Viori semakin memburuk ketika dia tahu kalau dirinya memiliki penyakit jantung. Maherjuna tidak pernah bertanya, penyakit seperti apa yang dirasakan oleh adiknya.
Tapi semenjak itu Maurin selalu ada untuk menjaga Viori. Setiap hari Maherjuna pasti menemukan ibu dan adiknya selalu bersama. Ia memang tidak begitu dekat dengan adiknya, bahkan Viori pernah mengatakan kalau Maherjuna adalah kakak yang tidak peduli.
Benar. Maherjuna memang membenarkan itu. Ia terlihat tidak peduli dan dirinya juga menyadari kalau seseorang seperti dirinya sulit berempati. Apalagi untuk hal yang tidak Maherjuna inginkan.
Namun terkadang Maherjuna bisa peduli, bahkan seperti sekarang. Ia merasa takut ketika melihat kedua orang tuanya panik melihat Viori yang tidak sadar juga.
Ia bahkan masih mengingat apa yang pernah dirinya bicarakan dengan Viori. Obrolan ringan yang sebenarnya tidak ingin Maherjuna dengar. Namun sekarang melekat dipikirannya.
"Kak," panggil Viori saat itu. "Kak Juna nggak mau lanjut sekolah di IHS bareng Kak Kiran?"
Maherjuna terdiam sejenak. "Nggak."
"Kenapa?" tanya Viori penasaran. "Nanti nggak enak kalau pacaran beda sekolah gitu. Kalau aku jadi Kakak, aku mau sekolah di IHS."
"Ya kalau gue pintar, gue bisa aja ke IHS. Atau banyak duit, gue juga udah daftar dari kemarin." Maherjuna menjawabnya. "Tapi papa sama mama nggak punya uang sebanyak itu. Gue juga nggak pintar. Udah jelas gue gak akan masuk IHS."
Indonesia History School adalah sekolah yang memang menjadi impian banyak murid di Indonesia. Khususnya warga Jakarta. Siapa yang tidak mengenal sekolah bagus dan favorit itu?
Seluruh lulusannya adalah yang terbaik. Mereka semua sukses dalam mencapai cita-cita. Terlihat beberapa orang terkenal pun alumni di sana karena rata-rata memang keluarga berada yang bersekolah di tempat itu.
"Berarti kalau aku nanti lulus, aku juga nggak bisa sekolah di sana?" Viori malah bertanya lagi membuat Maherjuna mengedikkan bahu. "Tapi aku juga nggak pintar banget, Kak. Berarti susah masuk IHS."
"Lo masih kelas tujuh, belajar dari sekarang supaya bisa ikut ujian beasiswanya pas kelas delapan." Jawaban Maherjuna memang menjelaskan kalau mereka hanya berbeda satu tahun.
Seharusnya Maherjuna mengikuti ujian masuk IHS untuk mendapatkan beasiswa, ia bisa melanjutkan kelas sembilan sebagai murid IHS, namun percuma saja kalau ia akan kalah dan tidak bisa membayar uang sekolah nantinya.