Seperti yang sebelumnya. Seperti yang pernah aku katakan. Seperti yang pernah kamu dengar. Aku masih cinta.
* * *
Reisa memperhatikan Geta yang tiba-tiba sepulang sekolah sudah ingin pergi ke rumah sakit. Mengajaknya untuk ikut ke mana cewek itu akan pergi. Sebelum ke rumah sakit, Geta sendiri bahkan datang ke toko untuk membeli buah. Semakin menjadi kebingungan Reisa karena setiap kali dirinya bertanya siapa yang sakit? Geta selalu menjawab, "Nanti juga lo tau."
Kesabaran Reisa sudah habis, ia tidak bisa diam saja. Masalahnya tumben sekali Geta meminta Reisa untuk mengantarnya ke suatu tempat. Reisa memang akan memberinya tumpangan, ia juga akan meminta sopirnya untuk mengantar Geta ke mana pun sahabatnya ingin pergi.
Tetapi Geta jarang meminta tumpangan, selain saat itu mereka berdua pergi ke permakaman untuk melihat keberadaan Maherjuna.
"Tunggu, Ta!" seru Reisa tersadar. "Jangan bilang sekarang lo mau ketemu Maherjuna?"
Geta terkekeh mendengar itu, kali ini tujuannya sudah tertebak. "Iya," tawanya masih terdengar. "Maaf ya, gue baru bilang. Soalnya kalau nggak gini, lo gak akan mau antar gue lagi buat ketemu dia. Sekarang gue lagi gak ada uang selain beli buah buat Maherjuna."
Reisa tidak percaya mendengar semuanya. "Buat apa lo kasih buah ke Maherjuna? Biar dia buang ke tempat sampah? Atau buat kasih ke orang lain lagi?" tanyanya cepat. "Lo masih nggak ada capeknya, Ta? Berharap sama cowok kayak gitu?"
"Ya kayak lo pernah bilang, Sa. Cowok kayak Maherjuna nggak akan pernah sadar ada cewek yang suka sama dia, kalau gue nggak tunjukin diri gue ke dia kapan dia sadar kalau gue suka?"
"Dan lo yakin kalau Maherjuna akan suka sama lo?" tanya Reisa lagi. Memperhatikan wajah senang Geta mendadak murung. "Lo kan nggak mungkin tunggu dia bilang suka sama lo. Kapan coba dia bakal sadar?"
"Sebenarnya ... dia udah bilang nggak suka sama gue." Geta menjawabnya, helaan napas berat cewek itu terlihat ketika bahunya menurun. Mata sedihnya memang terlalu berharap ke cowok itu.
"Maherjuna tau perasaan lo?" Reisa terkejut menyadarinya. "Get, lo kasih tau dia? Lo bilang suka ke dia duluan?"
Geta mengangguk. "Gue bilang suka aja langsung ditolak. Apalagi kalau gue nggak bilang? Yang ada gue udah percaya diri banget bakal disukain."
"Terus sekarang lo mau ngapain kasih buah buat dia? Lo mau apa sih, Geta?!" Reisa kesal. Menyandarkan punggungnya ke jok mobil, memperhatikan macetnya jalan Jakarta seperti rumitnya pemikiran Geta. "Dia udah tolak lo. Dia buat lo sakit hati, terus lo masih aja kasih perhatian ke Maherjuna!"
Geta menggenggam tas belanjaannya yang berisi buah untuk Maherjuna, menatapnya erat-erat seakan mencari jawaban. Ia juga tidak mengerti, kenapa masih harus memberi perhatian ke Maherjuna?
"Ya ... dia memang tolak gue, Sa. Tapi dia gak bisa buat perasaan suka gue ke dia berkurang." Geta menjawabnya. "Setiap manusia selalu punya hak. Hak hidup, hak menyampaikan pendapat, atau hak apa pun itu. Yang jelas, gue juga punya hak buat perasaan gue ke dia, buat perhatian gue ke dia. Dan saat bersamaan, dia juga punya hak buat tolak gue."
"Yes, but don't give your rights to a jerk like him." Reisa sudah lelah berdebat, apa pun yang berkaitan dengan Maherjuna. Perdebatan itu akan selalu menang ke Geta. "Repotin banget sih tuh cowok. Lo juga bikin kesel deh, Get."