Saat dia sadar dia mencintaimu. Dia akan menatapmu seperti tidak ada lagi hal menarik di dunia ini selain kamu.
* * *
Reisa memeluk Geta dengan erat. Mereka masih tidak melupakan kejadian di perpustakaan yang menghebohkan itu. Geta sendiri sudah menceritakan apa yang terjadi ke Reisa dan Maherjuna. Bahkan Maherjuna benar-benar akan melaporkan Danny karena perbuatan cowok itu sudah kelewatan, namun Geta menggeleng cepat.
"Nggak perlu, gue takut dia malah buat yang lebih buruk lagi." Mata Geta cukup bengkak karena ia tidak henti-hentinya menangis. Saat itu ia tidak tahu akan seperti apa nasibnya jika tertimpa rak itu.
Reisa berusaha menenangkan. "Gue nggak akan suka cowok kayak dia kok. Gue bakal jaga diri. Kita bisa sama-sama saling jaga juga, Ta."
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Geta dan Reisa berpisah di lobi sekolah. Pelukan ke sekian mereka terakhir dilakukan di sana. Baru kali ini keduanya benar-benar merasakan takut. Reisa juga panik karena teriakan Geta membuatnya langsung menoleh dan menyesal tidak memiliki langkah cepat untuk membantu detik itu juga.
"Gue pulang duluan ya, Ta." Reisa tersenyum. "Makasih lo udah bilang ke Danny kalau gue gak akan tertarik sama dia."
"Sama-sama." Geta mengangguk, arah pandangnya mengikuti Reisa yang menjauh ke parkiran sekolah. Ia kemudian membalikkan badan ke pintu gerbang, berniat ingin pulang juga. Namun tepat saat itu ia melihat Maherjuna yang berdiri tidak begitu jauh. Di belakangnya ada motor cowok itu yang masih menyala.
Geta menautkan alisnya karena tidak yakin Maherjuna berdiri di sana menunggu dirinya. Ia berjalan mendekat perlahan. Semakin dekat, semakin jelas kalau ternyata tatapan Maherjuna tidak beralih. Ia dapat melihat kalau cowok itu benar-benar menatapnya.
Hingga Geta berada tepat di hadapan Maherjuna. Satu hal yang tidak akan Geta duga. Cowok itu tersenyum lebih dulu.
"Udah mau pulang?"
Mendengar pertanyaan itu membuat Geta mengangguk. Tidak membuka suara karena ia juga bingung sendiri harus mengatakan apa.
"Masih sedih?" tanya Maherjuna lagi.
Geta terdiam. Ia belum sadar kalau Maherjuna yang saat ini ada di hadapannya terus bertanya tanpa diminta. "Lumayan. Tapi semoga cepat hilang."
"Amin." Maherjuna tersenyum lagi. "Kalau gue ajak lo ke suatu tempat mau gak?"
"Ke mana?" Kali ini Geta seratus persen terbelalak. "Serius lo ajak gue?"
Maherjuna mengangguk mengiyakan. "Memang gak bagus. Tapi tempat itu kadang jadi pelarian gue supaya masalah yang ada di pikiran gue hilang. Mau gak?
Geta mengangguk setuju. Benar-benar tidak sabar. "Ya mau lah! Gak mungkin seorang Geta tolak permintaan Maherjuna, kan?" tanyanya senang.
"Iya," balas Maherjuna tertawa. "Gak mungkin."
Maherjuna kali ini memberikan sebuah helm berwarna putih ke Geta. Entah apa alasan Maherjuna membeli yang warna putih. Tapi menurutnya, putih adalah bentuk ketulusan. Di matanya ketika melihat helm putih itu seperti merepresentasikan kalau cewek itu benar-benar tulus.
"Gue gak pernah lihat lo bawa helm dua," ucap Geta lagi. "Helm adik lo ya?"
"Bukan." Maherjuna menggeleng cepat.
Alis Geta tertaut. "Terus helm siapa dong?"
"Punya lo," balas Maherjuna lagi. "Helm itu gue beli buat lo."