Kadang penolakan cinta lebih baik karena hanya sakit di awal. Namun perasaan yang berubah lebih menyeramkan di akhir.
* * *
Sepertinya minggu-minggu ini akan menjadi kegiatan tersibuk bagi murid IHS. Sekolah itu selalu saja mengadakan bulan seni yang membebaskan muridnya untuk menunjukkan bakat mereka. Kalau saja tidak ada penambahan nilai mata pelajaran seni, mungkin para murid tidak akan peduli dengan acara ini.
Hanya saja Ivar sama sekali tidak memiliki bakat seni, cowok itu hanya menekuni permainan futsal. Itu pun cukup untuk membuatnya bergerak. Berolahraga tidak ada salahnya juga. Tapi ketika temannya, Bhagiraja mengikuti pertunjukkan bakat, rasanya Ivar ingin mengubur dirinya di dalam tanah.
Tidak ada kelebihan yang menonjol dari dirinya di bidang seni.
Dengan pasrah, Ivar membiarkan dirinya tidak mendapatkan nilai tambahan. Ia masih berpikir, mungkin saja ada orang yang sepeti dirinya tidak memiliki bakat.
Setelah latihan futsal, cowok itu memutuskan untuk menepi dan meneguk minumannya sampai habis. Tapi ketika ia sedang menghabiskan titik terakhir, sebuah tangan berada di depan wajahnya. Menawarkan sebotol minuman dingin yang menggoda untuk diminum saat ini juga.
Tidak perlu menoleh pun Ivar tahu siapa orangnya. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya sudah tidak bisa diteruskan lagi untuk berdiam di sana. Dirinya malah akan terjebak dengan cewek itu. Cewek yang kini tersenyum ke arahnya, siapa lagi kalau bukan Kiran?
"Lo gak mau minuman dari gue?" tanya Kiran cepat sebelum Ivar benar-benar meninggalkan cewek itu.
Namun tidak ada jawaban apa-apa dari cowok itu. Tidak ada. Hingga Ivar terus berjalan ke tengah lapangan dan mulai bermain futsal lagi bersama dengan teman-teman cowok itu yang lain.
Kiran memegang botol minuman yang ia beli, seharusnya kini cowok itu menerimanya, tapi Ivar--sama sekali tidak ingin menerima pemberiannya. Ia mengumpulkan keberanian yang ia punya, walau mungkin untuk ke sekian kalinya ia tahu Ivar akan menolaknya lagi.
"Var!" teriak Kiran ke tengah lapangan. Mendekati Ivar yang sedang berlari mengejar bola. Ia memang tidak berlari cepat, namun langkahnya terus mengikuti ke mana tujuan cowok itu. "Minuman lo. Lo belum terima pemberian dari gue."
Bukan Ivar yang pertama menyadari keberadaan Kiran di tengah lapangan. Namun Pal, temannya itu menoleh dan memberitahu.
"Kiran?" tanya Pal mengeluarkan suaranya, padahal dirinya semestinya sedang fokus menerima operan bola dari Ivar. "Ngapain dia di lapangan, Var?"
Bola yang ditendang Ivar kini bergerak ke arah lain. Ivar berhenti, menoleh ke arah Kiran, sementara Pal meninggalkan cowok itu untuk kembali fokus bermain.
Ivar mengepalkan tangannya, benar-benar kesal karena Kiran tidak bisa diberitahu. Ia kemudian menghampiri cewek itu. "Ke pinggir!" serunya tinggi.
Kiran menggeleng. "Kalau lo mau usir gue, gue gak akan pernah mau pergi, Var."
"Gue bilang ke pinggir lapangan." Ivar menekan setiap katanya, memerintah Kiran.
Tangan cowok itu benar-benar menggenggam erat Kiran. Menariknya dengan langkah cepat menuju ke tepi. "Berapa kali gue bilang lo harus berhenti kerjar gue?!"
"Berhenti?" tanya Kiran tidak percaya. "Lo bilang gue harus berhenti saat gue udah suka sama lo? Saat gue jatuh cinta sama lo? Lo yang bikin gue begini! Lo yang buat gue jadi suka sama lo!"
Ivar terdiam mendengar suara meninggi Kiran. Ia juga tidak bisa apa-apa. Ia memang tidak bisa memaksa perasaan seseorang, apalagi jika dirinya sendiri yang membuat cewek itu jatuh cinta ke padanya.
"Viori udah meninggal." Ucapan Kiran berikutnya membuat suasana mereka menjadi semakin emosi. "Kalau lo suka sama gue. Harusnya lo biarin gue buat menetap. Lo gak perlu menjauh, Var. Kalaupun Vio tau perasaan lo, dia gak akan bisa apa-apa karena dia udah gak ada di dunia ini."