Seharusnya kamu cukup mencintai satu orang.
* * *
Ivar sedang duduk bersandar di sofa sembari memandang langit dari lantai 40. Suasana ramai di sekitarnya hanya diciptakan oleh suara Sabit, Paul, dan mungkin Bhagiraja. Tapi tidak dengan Ivar saat ini, ia merasa tidak bisa bergabung ketika pikirannya dipenuhi oleh banyak masalah.
Ia kira mengikuti teman-temannya untuk berkumpul di hotel bisa membuat pikirannya melupakan masalah itu. Tetapi ternyata, Ivar kembali memojokkan diri dengan pandangan kosong. Gedung-gedung yang menjulang tinggi dan langit cerah menenangkan bahkan tidak lagi menarik untuk dilihat.
"Gak Bhagi. Gak Ivar. Semuanya aja diam lo." Sabit mulai berbicara karena seketika sunyi saat dirinya dan Paul tidak bicara.
Paul tertawa mendengar itu. "Bukan lo ini yang bayar hotel, Sab."
"Ya ... memang bukan gue, Bhagi yang bayar. Tapi harusnya kita ngobrol begitu." Sabit berbicara sesuai dengan kenyataan yang cowok itu lihat sekarang. "Atau kalau kalian punya masalah, cerita! Kalau diam aja gini gak akan kelar masalah lo."
Kali ini bukan cuma Bhagiraja dan Ivar saja yang diam tapi juga Paul. Membuat Sabit merasa emosinya memuncak. Tetapi tentu ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia sudah mengenal teman-temannya, kalau ada masalah memang diam seperti ini. Apalagi Bhagiraja, cowok itu juga selalu diam dan tidak peduli padahal Sabit sudah memintanya cerita dan mereka akan sama-sama menemukan solusi.
"Hati-hati lo, Var!" teriak Sabit, mulai putus asa lalu memilih tiduran di kasur dan tidak peduli lagi dengan sekitarnya. "Pertama lihatin langit. Kedua lihat gedung. Lama-lama mata lo turun ke kolam renang di lantai dasar. Kesambet setan, loncat deh lo dari lantai empat puluh."
Baru saja matanya terpejam, tapi pukulan di kepalanya membuat Sabit terbangun. Kesal melihat Paul baru saja memukulnya.
"Ngapain lo pukul gue, Bangsat!" kesal Sabit sembari mengusap kepalanya.
"Jangan kasih ide bunuh diri juga, Bodoh!" Walaupun ikut diam, Paul masih melihat keadaan di sekitarnya.
Sabit menghela napas. "Iya-iya," ucapnya sadar. "Lo cerita aja, Var. Biasanya kan lo sering ngomong ke kita-kita. Kali aja gue atau Paul bisa kasih solusi."
Ivar masih memandang langit cerah. "Pacar gue meninggal."
"HAH?" Sabit tidak mengerti. "Siapa?"
"Vio." Ivar menjawabnya lagi.
"Dia yang pacaran sama lo dari SMP itu, kan?" tanya Sabit memastikan. "Kok bisa? Sakit, Var?"
"Iya," balas Ivar lagi. "Sakit jantung. Udah lumayan lama dia pergi tapi ... gue gak bisa kayak gini. Pikiran gue terus ke Vio. Dia benci sama gue, Sab."
"Dia udah tenang kali, Var. Lagian lo juga gak buat salah ke dia, kan? Dia tau itu semua karena sakit. Gak mungkin lah dia benci sama lo."