Aku berharap dia tidak baik-baik saja tanpaku.
* * *
Malam ini Kiran sudah mengganti seragam sekolahnya yang tadi basah menjadi baju tidur. Sama dengan Ivar yang kini duduk di sofa ruang tamu, dia pun meminjam baju milik papa Kiran yang setidaknya cocok untuk cowok itu.
Keduanya terdiam selama itu, dari langit masih terang hingga berubah menjadi gelap. Jam pun terus bergerak seraya kesunyian yang tercipta. Diamnya Ivar sejujurnya membuat Kiran bertanya-tanya. Tapi ia merasa cukup lelah untuk mengharapkan lebih pada cowok itu lagi. Apalagi untuk orang yang sudah menyakiti hatinya, saat itu Kiran memutuskan untuk berhenti mengharapkan segala hal mengenai Ivar.
"Kalau lo mau pulang. Lo bisa pulang sekarang." Kiran menyandarkan punggungnya ke sofa dan memperhatikan televisi dengan layar hitam yang menurutnya lebih menarik saat ini. "Bokap dan nyokap gue sebentar lagi pulang. Gue gak mau jelasin apa-apa tentang lo."
Mendengar setiap ucapan Kiran belum membuat Ivar ingin membuka suara juga. Ia pun tidak menatap Kiran walaupun cewek itu sudah berani bicara lebih dulu. Tapi Ivar juga tidak bergerak dari tempatnya sekarang. Detik ini, Ivar benar-benar menjadi patung seakan-akan ia enggan untuk bangkit dari sana.
"Gue juga gak tau mau jelasin lo siapa."
Kiran menghela napas dan memainkan jari-jarinya untuk meyakinkan hatinya sendiri kalau Ivar adalah cowok pembohong. Dan Kiran juga tahu, ia sudah terlalu bodoh mempercayai ucapan cowok itu yang pernah mengatakan mencintainya.
"Kita bukan siapa-siapa. Lo bukan teman apalagi pacar gue. Dari awal itu kan yang lo mau?" tawa garing Kiran mendadak terdengar. Lebih seperti menjelaskan posisinya begitu menyedihkan. "Gua jadi penjahat. Gue buat hidup Viori menderita. Seolah-olah gue yang lebih pantas hidup sama seorang Ivar—orang yang sebenarnya gak pernah menjelaskan apa posisi gue di hidupnya selain ... selain mungkin menurut dia, gue adalah cewek murahan."
Kali ini Kiran benar-benar tidak takut untuk mengatakan semua ini. Meskipun ia harus merendahkan dirinya sendiri karena ia tahu kalau Ivar tidak akan pernah berubah. Terutama perasaan cowok itu yang tidak pernah ada untuknya.
Helaan napas Kiran lagi-lagi terdengar, matanya seketika beralih pada ART di rumahnya yang kini berlari menuju pintu utama. "BIBI!" teriaknya memanggil sebelum wanita paruh baya yang mengurus rumahnya itu menoleh. "Mama sama papa sudah pulang?"
Bibi mengangguk. "Sudah Non Kiran. Bapak dan Ibu lagi di depan, makanya Bibi buru-buru buka pintu. Permisi!"
Kiran melihat kini Bibi memang berjalan ke arah pintu. Berikutnya langkah kaki terdengar dari arah sana. Tetapi sekarang, Kiran hanya menatap bingung Ivar yang sama sekali tidak berniat bergerak dari tempatnya.
"Lo mau nginap di rumah gue?" tanya Kiran kesal. "Gue udah persilakan lo buat pulang ta—"
"Kiran, Honey!"
Itu suara mamanya sudah terdengar menggelegar di rumah. Kiran tidak mengerti dengan Ivar saat ini. Ia pun mendongak dan melihat mamanya sekarang sudah melihat keberadaan Ivar ada di rumah mereka.
"Lho ada siapa, Kiran?" tanya mamanya sekarang memperhatikan mereka berdua. "Teman sekolah kamu?"
Kiran menggeleng. "Bukan, Ma."
Mamanya menautkan alisnya bingung. "Bukan?"
Sekarang papanya pun menghampiri tepat di samping mama Kiran. "Terus siapa kalau bukan teman? Kenapa dia ada di rumah kita?"