"Tambah gak makanannya?" tanya Maurin ketika melihat putranya itu sudah menghabiskan satu piring dari makan malam mereka saat ini.
Maherjuna mengangguk lagi. Maurin pun memberi nasi dan lauk tambahan untuk putranya itu. Sementara ketika Maurin melihat piring putrinya, sangat berbanding terbalik dengan Maherjuna yang sudah menambah porsi makan.
Sekarang Viori tampak terdiam di meja makan dan sama sekali tidak terlihat bersemangat untuk makan. Membuat Maurin pun mendatangi Viori yang tidak sadar sedang melamun.
"Kenapa, Sayang?" tanya Maurin lembut. "Gak suka sayurnya? Mau Mama masak sayur lain? Vio mau apa?"
Viori pun menoleh dan tersenyum kepada mamanya. "Gak usah masak lagi, Ma. Vio suka sayur ini kok."
Meskipun diganti dengan sayur lain, yang namanya sayur tetap saja tidak selezat makanan lain. Tetapi Viori sudah mulai terbiasa dengan makan makanan sehat sejak ia didiagnosis memiliki penyakit jantung. Tapi sampai saat ini, cewek itu belum juga menyentuh makanannya.
Viori duduk bersama ibu dan kakaknya tapi pikiran cewek itu sudah pergi ke mana-mana.
Dan Maherjuna yang melihat adiknya itu tampak menghela napas. "Hargai usaha Mama buat masak dong. Makan kek! Bengong aja kerjaan lo. Nanti penyakit lo kambuh yang capek Mama juga."
"Juna!" peringat Maurin ketika mendengar Maherjuna mengatakan itu kepada Viori. "Nanti Vio makan. Jangan marahin adik kamu!"
Viori tersenyum mendengar perdebatan antara mama dan kakaknya. Tetapi memang sejak tadi dia sudah tidak bersemangat menjalani hari. Ia kini terus menatap Maherjuna yang terlintas baik-baik saja.
Viori selalu penasaran dengan yang dipikirkan oleh kakaknya—terutama pikiran laki-laki. Apa mereka tidak pernah berbicara dalam hati? Apa mereka menggunakan pikirannya? Viori selalu melakukan itu dan ia senang bisa berbicara kepada dirinya sendiri. Meskipun terkadang itu menyakitinya seolah-olah Viori memiliki dua orang di dalam tubuhnya. Saling berbicara, saling memberi saran, dan berakhir saling merasakan sakit.
Sudah seminggu ia mengalami perang batin yang begitu menyakitkan. Terutama tentang ... impiannya untuk terus bersama Ivar.
"Kak," panggil Viori melihat kakaknya yang masih sibuk dengan kegiatan makan.
Maherjuna berdeham sebagai jawaban karena mulut cowok itu lebih sibuk menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Tapi kemudian kepalanya naik untuk melihat Viori yang seakan ingin sekali menanyakan sesuatu.
"Kenapa Kak Juna bisa santai sih gak masuk IHS? Padahal Kak Juna jauh dari Kak Kiran." Viori mengatakan itu. "Vio cuma bingung, kenapa Kak Juna bahkan menyerah dari awal dan yakin kalau Kak Juna gak bisa satu sekolah sama pacar Kakak sendiri?"
Kali ini bukan hanya Maherjuna yang terfokus pada pertanyaan Viori. Namun juga Maurin, wanita itu memusatkan perhatiannya kepada putri cantik satu-satunya itu.
"Karena keluarga kita gak mungkin mampu bayar sekolah di IHS. Juga kemungkinan gue lolos beasiswa di IHS itu gak ada. Bukan kecil lagi, tapi gue yakin nggak akan lolos."
Viori mengangguk karena sudah begitu yakin dengan jawaban kakaknya, meskipun Maherjuna kembali menambahkan agar alasannya makin dipercaya.
"Kalau jauh dari Kiran, mungkin gue juga gak suka. Tapi ya gue gak bisa apa-apa selain jalanin apa yang udah dikasih buat gue."