Klub menulis sore ini terasa berbeda. Kami sepakat untuk menulis di ruang terbuka. Sengaja pula memilih waktu sore hari, di danau, agar banyak inspirasi yang kami dapat. Sesuai kesepakatan, kami akan menulis dengan tema romansa kali ini.
Desau angin sore cukup merepotkan, rambutku melambai-lambai tertiup angin. Segera, aku mengambil ikat rambut dari tas. Mengikatnya serapi mungkin, mengandalkan insting jemariku merapikan rambut.
Hei, mataku bersitatap dengan Aji. Iya, saking penasaran, aku menanyakan nama lengkap Pak Prabu pada Kak Yuli, tentu saja dengan alasan pekerjaan. Namanya Prabu Aji. Aku jadi merasa tak sopan ketika harus memanggil namanya tanpa menggunakan kata "Pak". Usianya pastilah di atasku. Namun disini, kami sepakat memanggil satu sama lain dengan nama saja, karena umur kami tak terpaut jauh. Sepertinya.
Aku gelagapan mencari arah pandang lain.
"Yuk, kita mulai." Suara Kai membuatku terfokus padanya.
"Oke, teman-teman, kalian lihat danau di depan kita. Dari danau itu, kita tulis apa saja yang bisa menghasilkan tulisan romansa. Baik itu cerpen, puisi atau mungkin mini fiksi."
Sesuai arahan Kai, aku menatap danau dengan desau anginnya. Memang pas menggambarkan suasana romantis.
Kerlingan mataku tertuju pada Kai. Aku menarik nafas, mengeluh kenapa harus dia yang jadi sumber inspirasiku. Mataku kembali melirik padanya. Ayolah, aku harus menahan kebiasaan buruk ini.
Aku mengalihkan pandanganku pada danau di hadapanku. Semilir angin memberantakan poni yang sudah ku atur sedemikian rupa. Sesekali aku merapikan poniku.
Yang lain, seperti biasa tenggelam dalam imajinasi mereka. Tapi sepertinya tidak dengan Aji. Dia menatap kosong hamparan danau dengan perahu bebek yang berenang disekitarnya.
Aku membayangkan naik perahu bebek itu bersama Kai. Tapi mana mungkin aku menuliskan itu. Lalu aku harus menulis apa?
Belum hilang kebingunganku. Ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Bu Sindy, di hari libur?
"Ah, iya Bu Sindy ..." aku mengangkat sedikit malas. Perlahan menjauh dari mereka.
Di hari libur ini, dia menanyakan progres tagihan PT. Minyak Tenggara. Otomatis mataku melirik Aji, haruskah aku menagihnya disini? Aku menyeringai menghardik ide bodoh dari benakku.
"Baik, Bu. Hari Senin saya follow up lagi."
Aku segera kembali, dan entah kenapa aku harus menoleh ke arah Aji. Dan semakin aneh, dia juga menatapku. Aku segera menarik wajahku, duduk kembali memandang danau.
"Hari libur masih ditelponin Bos ya, Kinara?" Egi memecah fokusku yang baru duduk.
"Eh, iya. Padahal masih bisa besok." Aku memberi Egi senyum tanggung.
Tak ada obrolan lagi setelah Egi melempar senyum padaku. Aku juga harus segera menulis. Tapi rasanya, ada mata yang sedang memperhatikanku. Entah, tapi sepertinya bukan Kai.
Setengah jam berlalu. Semua bersorak ramai membuat beberapa pengunjung melirik ke arah kami.
"Ah, menulis di alam terbuka memang paling seru," kata Sachi sambil meregangkan tubuhnya.
Tanpa diperintah, mereka sudah menukar hasil tulisan masing-masing. Aku yang ada disebelah Sachi menukar dengan miliknya.
Sebelum sebuah komentar terucap, Egi terkekeh garing menatap buku milik Aji. Saat semua mata menatapnya, penasaran apa isi tulisan Aji hingga membuat Egi terkekeh renyah. Ia memamerkan buku milik Aji yang hanya ada dua kalimat.