Hari Minggu ini cukup cerah. Mentari hangat menyinari insan di belahan bumi, di kota hujan ini. Tidak terlalu terik tapi juga tidak mendung. Teduh.
Aku menghela nafas panjang di hari Minggu. Melihat berkas yang harus aku buat invoice-nya, dadakan. Dan yang menyebalkannya lagi, aku harus ikut dalam pertemuan bersama Pak Iwan, teknisi perusahaan ini ke PT. Minyak Tenggara.
"Kinar, invoice-nya sudah? Pak Loise nunggu kita disana." Pak Iwan menghampiriku sambil mengambil surat jalan untuk penginstalan mesin baru yang diminta PT. Minyak Tenggara.
Karena ini perusahaan langganan, maka saat mereka minta invoice dadakan pada saat alat akan dikirim, sangat memungkinkan. Padahal biasanya, invoice akan dikirim setelah alat diinstal.
Buat mereka, mengorbankan waktu libur karyawan tak masalah, toh kami digaji. Dan ini bentuk loyalitas pada perusahaan. Begitu sekiranya pemikiran para atasanku.
Aku ikut mobil double cabin inventaris perusahaan bersama Pak Iwan dan sebuah alat besutan perusahaan di Amerika, "Healer".
Mobil melaju santai di jalanan kota hujan yang sedang bersahabat hari ini. Teduh. Jalanan menuju tempat pertemuan juga lengang. Mungkin sebagian orang memilih ke tempat rekreasi di luar daerah ini. Mereka bosan dengan hiruk-pikuk jalanan kota. Mencari suasana baru.
Kami sampai di gedung milik PT. Minyak Tenggara. Beberapa orang membantu menurunkan alat yang tak terlalu besar.
Aku mengekor di belakang Pak Iwan menemui Pak Loise, direktur utama perusahan kami.
Dan, dari jauh sudah kulihat sosok yang kemunginan besar akan kutemui di sini. Prabu Aji dengan wajah datarnya. Kali ini dia tersenyum tipis menyapa kami, berjabat tangan sebagai basa-basi. Dia juga menyalamiku. Berhubung dia memberi senyum, aku balas senyum yang biasanya tak terbalas.
"Pak Iwan, alatnya sudah di bawa ke dalam?" tanya Pak Loise.
Pak Iwan mengangguk.
"Kinara, kamu disini dengan Pak Prabu. Revisi invoice sebelumnya juga." Pak Loise beranjak bangun bersama rekan bisnisnya dari PT. Minyak Tenggara, bersama Pak Iwan.
"Tenang saja, Mbak. Pak Prabu walau tampangnya ketus, hatinya lembut, kok." Sebelum pergi rekan bisnis Pak Loise mengajakku bergurau.
Aku hanya tersenyum menghormati gurauan beliau.
Ya, memang tampang Aji itu ketus. Perawakannya mewakili, tubuh tinggi tegap, kekar dengan kulit lebih dari sawo matang. Wajah datar itu yang mempertegas kalau dia berwatak ketus.
Sekian menit semuanya lengang. Aku menunggu bagian invoice mana yang salah. Seingatku, sebelumnya tidak ada masalah.
"Aji ..."
"Panggil saya Prabu. Kita di kantor sekarang."
Suara datar itu terdengar menyebalkan. Aku berdesis kesal. Kemudian menghela nafas menghadapi pria ketus ini.
"Baik Pak Prabu." Intonasiku berubah formal. "Jadi, masalah invoice kemarin, bagian mana yang harus direvisi. Bukannya, sudah sesuai PO?"
"Penulisan Tenggara-nya kurang huruf g, Tengara." Aji menunjuk satu kata di bawah nama Kepala Keuangan.
Ups, benar. Aku salah menulis nama. Tapi bukannya itu tidak masalah. Kecuali nama yang tertera di keterangan paling atas, karena berhubungan dengan faktur pajak yang akan dicetak.
"Bukannya, bisa acc dengan tandatangan Kepala Keuangan?"