Kota hujan sedang dibungkus awan mendung sedari pagi. Tapi kami tetap berangkat ke danau untuk kembali menulis di sana. Hari ini konsep menulis kami berasal dari lagu.
Setelah seminggu yang lalu aku absen, hari ini aku bersemangat berangkat. Setelan celana kulot hitam dengan sweater warna-warni menjadi outfit pilihanku hari ini, karena walau diluar mendung aku ingin tetap ceria di hadapan Kai.
"Cuacanya pas deh, ga terlalu terik," ucap Sachi saat kami baru saja selesai menggelar tikar di hamparan rumput.
Suasana yang sama. Desau angin, tarian pepohonan yang riang serta riak danau yang kadang besar karena perahu naga melintas.
"Ayo, langsung mulai. Lagu siapa yang mau di play duluan?" Egi memecah lengang sejenak yang tercipta saat kami menikmati suasana danau.
Hari ini, tema kami menulis lewat lagu. Kami akan memutar satu lagu favorit, kemudian lewat lagu itu, kita boleh menciptakan tulisan apapun bentuknya. Puisi, mini fiksi, atau sekedar petikan kata mutiara.
"Aku, deh." Marsya menawarkan diri.
Marsya mulai mencari lagu yang akan kami dengarkan lewat ponselnya. Lantunan musik mulai terdengar, aku tahu lagu ini. Happier dari Olivia Rodrigo.
"Ah, lagu putus cinta," Sachi protes.
Apa Marsya sedang putus cinta? Ia tak menyanggah protes Sachi. Bibirnya terus melafalkan lirik lagu itu, wajahnya sempurna menunjukan raut putus cinta. Menghayati sekali.
Ah, aku lupa menulis karena memperhatikan Marsya.
Aku jadi bergumam ingin bernyanyi, walau tidak sedang patah hati, suasana danau yang sejuk di sertai desau angin sudah cukup mendramatisir lagu ini.
Saat lantunan musik berhenti, Marsya segera mematikan ponselnya. Sedari tadi aku merasa Kai dan Marsya senada dalam raut wajah.
"Aji, mana tulisan kamu?" Sachi langsung menyeringai jahil. Ia tahu Aji paling payah untuk urusan romansa.
Suka rela Aji menyerahkan bukunya.
"Putus, putus aja."
Sachi tergelak tak bisa menahan tawa. Yang lain juga seperti menahan tawa, termasuk aku.
Simpel sekali. Sepertinya dia belum pernah merasakan putus cinta. Dia tak tahu betapa menyakitkannya kata "putus".
Eh, aku juga belum. Tapi sedikit mengerti.
Aji merampas buku milik Egi. Bagi Aji, Egi tak akan jauh berbeda darinya kalau urusan romansa.
"Itu mantan atau pahlawan? Kok, dikenang terus?"
Aji membacakan dengan intonasi datar.
"Egi!" seru Sachi. "Jangan terlalu mirip sama Aji dong," lanjutnya masih menahan tawa.
Kali ini aku benar-benar ingin tersenyum lebar. Kedua pria itu sungguh punya sisi berbeda dalam hal romansa. Tapi Egi lebih baik dibanding Aji.
"Coba liat punya kamu," giliran Egi penasaran dengan tulisan Sachi.