Saat SMA, aku pernah mendapat pernyataan cinta dari kakak kelas sekaligus Ketua OSIS. Jabatan Ketua OSIS membuat si Kakak kelas ini populer. Ya, maklum saja, jabatan itu sudah turun temurun dicap sebagai jabatan bagi orang-orang keren.
Tapi, bagiku yang sudah terkontaminasi drama Korea, tipeku sudah berkiblat ke arah sana. Bagiku, pria keren itu yang gayanya modis, senyumnya menawan, romantis dan berwajah bak Dewa Yunani. Sudah mutlak seperti itu. Hingga mereka yang tidak sesuai dengan kriteriaku, aku tolak tanpa perlu berpikir lama. Meski aku sadar diri, masih banyak yang lebih cantik dari diriku. Tapi mau bagaimana lagi, kriteriaku sudah mentok seperti itu.
Zaman sekarang, pria tampan bak Dewa Yunani memang mudah di temui. Apalagi di platform berbagi video, dengan polesan aplikasi untuk mempercantik diri, maka cling ... semua berubah jadi cantik dan tampan.
Tapi kriteriaku tak berubah. Pernah ada pria dengan wajah tampan menyatakan perasaannya, tapi hatiku tak sreg. Dia tak bisa romantis, semaunya, bahkan terkesan memaksa. Tolak.
Maka, saat pertama bertemu Kai. Saat pertama pandangan kami bertemu di mall. Aku sudah tertarik karena wajahnya. Kemudian, semesta memberi takdir kepada kami untuk bertemu di toko buku. Wajahnya terpampang sempurna di hadapanku. Suaranya enak di dengar, senyumnya menawan dan dengan ringan memberikan buku yang hendak ia ambil padaku. Bahkan, secara tidak langsung dia meminta kami bertemu lagi. Mana bisa aku tolak. Bahkan aku sampai berusaha mencarinya.
Hingga, semesta kembali membuat cerita indah antara kami. Kai menyatakan perasaannya hanya dalam waktu satu bulan perkenalan kami.
Aku sempat memikirkan, kenapa bisa secepat itu dia menyukaiku, kemudian menyatakan perasaan? Tapi aku tak mau ambil pusing. Simpelnya, sekarang aku sedang menjalani hubungan istimewa dengannya. Status kami berpacaran.
Hari-hariku bagai taman dengan hamparan bunga yang semerbak wanginya. Indah dan wangi.
===
Ponselku berdering sore ini. Dari Kai. Dengan sumringah aku mengangkatnya. Suara merdu itu langsung menyapaku.
"Iya, udah selesai. Kalau masih sibuk, ga usah."
Aku mengakhiri obrolan itu dengan kabar gembira. Kai akan menjemputku sepulang kerja.
Sambil menunggu Kai di ruanganku, aku merapikan riasanku. Lipstik yang mulai memudar aku tambah polesannya. Kutata kembali rambut yang sedikit berantakan, lalu jangan lupa semprotkan parfum agar tetap segar saat Kai mencium aroma tubuhku.
Tak perlu lama, sekitar lima belas menit Kai datang menjemputku. Dan lihatlah, senyum manis itu tersaji untukku memberi semangat baru setelah seharian bekerja. Semua keluh dan lelahku sirna seketika saat senyum itu menyapaku.
Aku mendekati Kai malu-malu. Dia langsung menyodorkan helm barunya untukku. Helm dengan warna dasar putih dan aksen ungu. Warna favoritku.
"Kita makan dulu, mau?"
Aku tak pernah mungkin menolak setiap ajakan Kai. Aku sudah terhipnotis oleh setiap ucapannya. Aku akan menuruti apa yang ia mau.
Kai mengajakku makan di sebuah kedai bakso. Katanya dia mendapat rekomendasi temannya untuk makan bakso di sini. Aku pernah ke area sini, memang cukup penuh saat jam pulang kerja seperti ini.
"Sudah beberapa minggu yang lalu temenku rekomendasiin tempat ini, tapi baru sempet hari ini. Katanya, bakso di sini enak," ucap Kai saat dua porsi bakso dengan isian lengkap datang.
"Aku pernah ke daerah sini, tapi ga tau kalau ada bakso enak," sahutku sambil menuang sambal ke mangkuk. Sedikit saja. Aku harus menjaga image di depan Kai.
Sebenarnya, jika sedang bersama teman-temanku, sulit rasanya menahan diri untuk tidak menuang sambal sebanyak mungkin. Aku bisa mencampur lima sendok sambal jika mau.
Kai benar, bakso di sini enak. Kuah kaldunya gurih, baksonya tidak terlalu kenyal, tekstur dagingnya sangat terasa begitu dikunyah. Aku lahap menghabiskan semua bakso beserta mienya. Kenyang sekali.
"Beneran enak," pungkasku saat selesai menyeruput es jeruk di hadapanku.
Kai hanya tersenyum. Tangannya meraih tisu yang tersedia di meja, kemudian menyeka punggung tanganku yang terkena cipratan saus, cipratan kecil, bahkan aku tak menyadarinya.
Hatiku berdesis hebat. Priaku ini sangat romantis. Sempurna sudah hidupku.
Kami harus bergantian dengan pengunjung lain yang tak pernah berhenti datang. Kami segera pulang. Motor Kai melaju santai membelah jalanan yang cukup ramai sore ini.
Saat lampu merah, tangan Kai menarik tangan kiriku. Menjatuhkannya di pinggang Kai. Mungkin dia menyuruhku berpegangan. Sejak awal jadian, itu yang ingin kulakukan saat berboncengan dengan Kai, tapi hatiku memberi peringatan untuk tidak agresif. Aku harus kalem.
Tapi kali ini, Kai yang meminta. Dengan senang hati kedua tanganku melingkar di pinggangnya.