Runtuhnya Pesona Dewa Yunani

Lail Arrubiya
Chapter #11

Mereka Sudah Tahu

Sachi, gadis yang punya darah campuran Indonesia - Jepang, yang punya banyak keunikan. Setelah kemarin aku dibuat tak percaya dengan lagu kesukaannya, maka kali ini aku tak percaya kalau ia seorang designer. Ia punya sebuah butik di pusat kota. 

Siang ini, kami di ajak Sachi ke butik miliknya. Karena ia harus melayani kliennya yang datang mendadak, kami di minta ikut ke butiknya. Padahal kami bisa menolak dan membiarkan dia pergi. Sayangnya, dia merengek dengan wajah jutek agar kami menulis di butiknya. 

Di sudut butik, mendadak disiapkan enam kursi dan satu meja dengan softdrink dan camilan yang sudah disediakan. Sementara Sachi menemui kliennya, kami dibuat takjub melihat butiknya yang mewah dan elegant. Sangat berbanding terbalik dengan penampilan Sachi. 

Mataku memperhatikan Sachi yang bicara dengan kliennya. Sungguh, seperti bukan Sachi. Tenang sekali. Nada suaranya tertata, senyum tak lepas dari bibir tipisnya. 

Mataku menyisir foto-foto di dinding butik. Foto Sachi dengan seorang designer ternama yang rancangannya sering disebutkan dalam setiap acara selebriti tanah air. Dan, hei ... penampilan Sachi tidak jauh berbeda dari penampilan sehari-harinya. Tetap modis dengan kaos simpelnya. Padu padan kaos, outer dan aksesoris tetap menggambarkan Sachi yang tidak feminim tapi terlihat manis. 

"Jadi kita mau nulis apa?" Marsya membuka pembicaraan saat yang lain asik memperhatikan isi ruangan ini. 

"Hari ini, kan, kita mau nulis horor. Tapi masa iya suasananya begini. Serasa mau milih baju nikah," jawab Egi cengengesan.

"Libur dulu aja nulisnya," suara Aji terdengar.

Semua mata tertuju padanya. Lama ditatap, kemudian Egi, Kai dan Marsya tersenyum kompak.

"Setuju." Mereka hampir bersamaan menjawab.

"Terus kita ngapain?" aku menatap yang lain setelah seruan mereka yang bersamaan.

"Di deket sini, kan ada bioskop. Gimana kalau kita nonton aja. Aku traktir," usul Kai disambut senyum mengembang Egi dan Marsya. Aji biasa saja.

"Nontonnya harus sesuai tema hari ini," Aji menyela tanpa bilang setuju. Mungkin dia khawatir diajak nonton film romansa. 

"Kita nunggu Sachi?" tanyaku.

"Kalau ditinggal pun dia akan marah kayak nenek sihir," jawab Egi terkekeh.

Sudah setengah jam Sachi bersama kliennya. Kami sudah membahas banyak hal selama menunggu Sachi. Untungnya tak ada yang bertanya kenapa aku bisa datang bersama dengan Kai. Walau tidak berniat merahasiakan hubungan ini, kami juga tidak berniat mengumumkannya. 

"Aduh, sorry lama, ya? Jadinya gimana? Udah pada nulis?" 

Pertanyaan beruntun dari Sachi tak terjawab satupun. Kami hanya menatap datar ke arah Sachi. 

"Kenapa?" 

"Karena kita dipaksa ikut kesini, kita jadi batal nulis. Suasananya ga sesuai tema hari ini. Jadi, kita minta diskon kalau mau bikin jas dan gaun disini," ujar Kai bergurau.

Kai membuat Sachi yang serius mendengarkan, kesal, mengerutkan alis lalu melayangkan tamparan ke pundak Kai. 

"Eh, Kai mau bikin jas dan gaun? Buat siapa? Jangan-jangan udah ada calonnya?" Lagi-lagi Sachi bertanya berturut-turut tanpa menunggu jawaban dari pertanyaan pertamanya.

Aku yang mendengar pertanyaan Sachi merasa salah tingkah. Otakku terlalu cepat memikirkan masa depan dengan Kai. 

"Ada dong, " jawab Kai dengan santainya. 

Aku mencari arah pandang sembarang, berusaha santai seperti Kai. 

"Egi, kamu gimana?" Sachi menatap Egi tajam.

"Aku? Mana mampu beli jas disini," jawabnya menatap deretan gaun dan jas mahal disekitarnya.

"Kalau kamu sama aku, gratis."

Lihat selengkapnya