Saat mendaftar di salah satu Universitas, aku pernah punya pengalaman menarik. Saat itu angkutan umum yang kunaiki mengalami bocor ban belakangnya. Ban cadangan yang di bawa sudah terpakai semuanya. Maka jalan terakhir menunggu montir mendapat ban cadangan dari bengkel sekitar. Cukup lama. Hingga membuat beberapa orang memilih naik kendaraan lain. Termasuk aku.
Aku sudah terlambat sepuluh menit dari waktu tes. Sedangkan aku masih harus menempuh perjalanan sepuluh menit untuk sampai ke Universitas tersebut. Itupun kalau jalanan lancar.
Sialnya jalanan padat. Hatiku tak tenang. Aku nyaris terlambat setengah jam jika angkutan ini harus berhenti menunggu penumpang di dalam gang, yang jalannya santai.
Gagal karena hasil tes saja Ayah sudah kecewa, apalagi gagal karena aku terlambat datang. Aku sudah gagal masuk Universitas Negeri. Mana mungkin Ayah bisa terima jika masuk swasta pun aku gagal. Kekhawatiran menyerangku seketika. Banyak hal yang kubayangkan. "Bagaimana jika Ayah tahu aku gagal karena terlambat? Universitas mana lagi yang harus aku datangi? Semuanya berkecamuk dalam benakku. Namun, saat itulah aku ingat ucapan Ibu.
" Allah itu bersama prasangka hamba-Nya. Kalau kamu berbaik sangka pada Allah, maka itu yang akan terjadi pada dirimu."
Berprasangka baik di situasi terdesak? Aku lebih merasa takut dan tegang. Bahkan air mataku sudah menggenang di pelupuk mata. Tapi apa salahnya mencoba pesan ibu.
"Yaa Allah, Engkau pasti menolong hamba," tutur batinku menguatkan, meyakinkan Tuhan akan menolongku. Walau entah bagaimana caranya.
Aku berlari di koridor yang lengang, hari ini seleksi mahasiswa baru dimulai. Hampir semuanya sudah berada di ruangan dan berpikir keras mengerjakan soal tes. Sementara aku sedang berpikir keras mencari alasan untuk keterlambatanku.
Aku sudah telat tiga puluh menit saat memasuki ruangan. Dengan nafas tersengal dan garis air mata yang sedari tadi berusaha kuhapus, aku menatap ruangan itu. Semua mata sempurna menatapku juga.
Dosen penguji belum datang. Ujian mendadak harus diundur. Aku menghembuskan nafas lega dengan tubuh lemas. Aku langsung mencari kursi yang tersisa. Masih dengan nafas tersengal, tapi bukan karena lelah berlari. Aku nyaris tak percaya bahwa keyakinan Tuhan akan menolongku, nyata adanya. Ucapan Ibu benar.
===
Hari ini pun sama, saat semua kecemasan berkecamuk, saat aku putus asa tak ada seorang pun yang mengerti aku sedang diancam berandalan ini, saat lirih aku menangis memanggil nama Ibu, saat itulah keyakinanku pada Tuhan muncul. Yakin DIA akan menurunkan bantuannya untukku.
Berandal di belakangku jatuh tersungkur ke belakang. Mengerang kesakitan.
Aku menoleh. Melihat sosok Aji yang berdiri dengan buket bunga yang terjatuh saat berandal itu menarik tanganku.
Teman si berandal tak menghiraukan aku yang turun dan berlari ke arah Aji. Mencengkeram lengannya kuat-kuat.
"Nih!" serunya pelan sambil menyodorkan buket bunga mawar itu padaku.
Aku menatapnya nanar, tapi dia kekeh menyodorkan buket. Aku menerimanya dengan tangan bergetar. Mataku masih basah oleh air mata.
"Cih, bangun lu, jangan manja!" Teman si berandal menendang pelan temannya yang masih mengaduh di aspal.
"Mundur," seru Aji menyuruhku menjauh darinya.
Aku mengikuti perintah Aji. Keduanya tak memberikan Aji waktu untuk bersiap, langsung merangsek menyerang Aji. Namun Aji bisa menangkis tiap serangan mereka.
Aji bertahan beberapa menit, hingga keduanya bersamaan menyerang Aji. Sebuah belati yang dipegang si berandal mengenai lengan Aji. Kemeja lengan panjangnya robek dan dibasahi darah segar.
"Aji !!!" Aku tercekat melihat Aji meringis menggenggam lengannya.
"Tolong!!!" Kini suaraku bisa berteriak lebih keras.
Beberapa orang yang melihat kemudian mendekat. Berusaha membantu namun takut melihat belati yang diacungkan si berandal. Situasi semakin ramai, kedua berandal itu semakin terdesak walau tak ada yang berani mendekatinya.
Mereka mengancam dengan belati itu sambil mendekati motor miliknya. Kemudian secepat mungkin pergi sebelum ada orang yang berani melawan mereka dan bisa habis mereka jika diamuk masa.
Aku segera mendekati Aji yang masih memegangi lengannya yang dibanjiri darah.