Jantungku benar-benar berdetak tak karuan. Tanganku sudah basah oleh keringat, sedari tadi memeluk pinggang Aji sambil menggenggam buket bunga mawar. Entah sudah berapa kali aku berteriak saat Aji menyalip kendaraan di depan kami. Untung saja Aji memakai helm, setidaknya gendang telinganya tidak pecah karena teriakanku.
"Aji! Kita mau kemana?!" aku berteriak dengan suara bergetar.
Sedari tadi Aji melaju tanpa bilang akan kemana. Sepertinya dia masih mencari kantor polisi. Itu memang tujuan yang paling aman sekarang. Hanya saja dua motor di belakang kami sudah sangat mendekat. Aku mengeratkan pelukan membenamkan wajah di punggung Aji. Aku tak tahu akan bagaimana jika mereka berhasil menyusul kami.
"Peganganan!" teriak Aji.
Padahal tanpa di bilangpun sedari tadi aku sudah mengeratkan pelukanku di pinggangnya.
Di depan jalanan lengang, dua motor terdekat siap merangsek bagian belakang motor Aji. Lajunya makin kencang, hingga beberapa meter kemudian secara mendadak Aji memutar balikan arah motornya. Aku memejamkan mata, namun terasa sekali kemiringannya nyaris menyentuh aspal.
Aku tak berani membuka mata beberapa saat. Setelah kusadari kami masih diatas motor, aku membuka mata dan kutengok ke belakang. Dua motor itu sudah terkapar di aspal yang panas.
"Cepat cari bantuan, cari kantor polisi terdekat!"
Aji mengurangi kecepatannya, memberiku kesempatan menelpon polisi.
Segera aku tekan nomer darurat, kantor polisi. Beberapa detik terdengar nada tunggu, dan tersambung. Dengan segera aku laporkan keadaan kami yang sedang dikejar geng motor. Tak perlu lama mereka segera menangani kasus kami dan akan segera mengirimkan bantuan.
"Aji, masih ada yang ngejar kita!"
Aku menyadarinya dari raungan knalpot yang berisik itu.
"Iya saya tahu!" Aji berseru kesal kemudian memacu kembali motornya.
Aji kembali mencari jalanan yang ramai. Beberapa kilometer jalanan masih lengang. Tiga motor masih mengejar dengan ganas di belakang.
"Aji ..."
Aku benar-benar ketakutan tak bisa bilang apa-apa lagi selain memanggil, mengeluh lirih menyebut nama Aji, memeluknya erat kemudian aku kembali mengingat ucapan Ibu, tentang Tuhan bersama prasangka hamba-Nya.
"Yaa Allah, selamatkan kami, paling tidak Aji. Dia yang sudah terluka karena harus menyelamatkan aku," bisikku diiringi sedu-sedan penuh ketakutan.
Aku mendengar jelas desah nafas Aji dari balik punggungnya. Dia pasti kelelahan, tangan yang sudah kubalut kembali mengeluarkan darah. Sapu tangan pink itu sudah berwarna merah sekarang.
Aku semakin tergugu melihatnya.
Dari sampingku terlihat wajah bringas itu mengacungkan tongkat besi, lantas memukulkan besi itu mengenai lengan Aji. Aku berteriak saat motor Aji oleng dan kami terjatuh bersama.
Aku meringis menahan sakit di kakiku, sementara Aji, dia terkapar tak berdaya di aspal tak jauh dariku. Ketiga motor itu sempurna mengelilingi kami. Aku berusaha mendekat pada Aji tapi seorang berandal memegangiku.
Berandal yang tadi hendak menculikku mendekati Aji, menendangnya sekuat tenaga.
"Aji!!!" aku histeris berusaha melepaskan diri tapi tak mampu.
"Lu liat, kalau rezeki ga kemana. Tadi dia sempat lolos dari gue gara-gara lu, sekarang dia bisa gue pake lagi." Berandal itu bicara sambil menendangi perut Aji.
Aku menangis histeris melihat pemandangan dihadapnku. Darah keluar dari lengan Aji yang terluka. Aku tergugu tak berdaya. Aji yang harusnya selamat justru tak berdaya sekarang.
Raungan sirine polisi membuat tangisanku berhenti. Setidaknya itu pertanda kami akan selamat, kan. Berandal itu meninggalkan Aji tapi ternyata dia tak melepaskanku. Dia kembali menyeretku dengan paksa.
"Lepasin aku!!" teriakku berusaha mengulur waktu, dengan menahan diri agar tak diseret. Namun tenaganya bukan tandinganku.
Aku sudah mulai pasrah, saat sebuah pukulan kembali melayang dari Aji untuk berandal itu.
Dengan tertatih dia melawan mereka.
Untungnya polisi segera datang tepat waktu. Saat Aji sudah sangat kehabisan tenaga, menahan rasa sakitnya. Ia terkapar.