Kakiku masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Hari ini aku harus tetap bekerja walau dengan perasaan cemas. Ayah dan Ibu akan banyak bertanya kalau tahu kakiku terluka.
Tapi sayangnya, di kantor berita mengenai Aji yang dikejar geng motor langsung menyebar dengan cepat. Mungkin teman Aji yang melihatnya di parkiran yang menyebarkannya. Lucunya, beredar gosip Aji dikejar geng motor dengan kekasihnya. Bahkan gosip yang aku dengan penuh dengan dramatisir.
"Pak Prabu sama calon istrinya di kejar geng motor, temen gue liat sendiri tangan Pak Prabu udah berdarah-darah tapi tetep mau nganterin calon istrinya dulu. Dan yang paling kerennya, Pak Prabu sampai rela mati buat nyelamatin calon istrinya, dia ga mau calon istrinya disentuh lelaki lain, dia murka." Namanya Agung, pria yang sedang menceritakan cerita dari temannya yang bekerja di Minyak Tenggara.
Sungguh, aku heran dari mana cerita itu bermula. Calon istri, rela mati, murka karena calon istrinya disentuh. Aku menggeleng-geleng tak mengerti.
"Kinar!" seru Kak Ratna berbisik, " perempuan yang lagi happening kabarnya itu, bukan kamu, kan?"
"Hah? Aku?" aku tertawa kaku, "bukan, lah. Calon istri Pak Prabu? Aku?"
Kini aku sungguh terkekeh. Walau benar dia yang menyelamatkanku, tapi aku bukan calon istrinya.
"Tapi sepertinya kemarin aku lihat kamu di parkiran sama Pak Prabu. Tapi aku ga yakin tangannya berdarah." Kak Ratna masih menyelidiki, penasaran.
"Kakak salah liat!"
Kak Ratna kembali ke mejanya tanpa bangun, menggeser kursi kerjanya seperti kursi roda, namun lebih ringan jalannya.
Kenapa aku harus berbohong? Apa yang akan terjadi kalau orang-orang tau perempuan itu aku? Apa ada yang salah jika Aji menyelamatkanku?
Pertanyaan itu seperti konflik dalam batinku. Seolah ingin merahasiakan ini namun sisi lain hatiku tak ingin berita ini melebar hingga harus sampai ke telinga orang tuaku, ataupun Kai.
Aku memilih membiarkan berita itu berkembang, mengacuhkannya. Toh, nanti berita ini akan menghilang dengan sendirinya. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku hari ini dan bertemu Kai. Seharian kemarin mendadak aku merindukannya. Seandainya aku berangkat dengan Kai, mungkin kejadian ini tak akan terjadi dan Aji tak perlu terluka.
Senja di luar jendela sudah menjadi kode untuk kami bersiap pulang. Kai sudah menunggu di luar. Seperti biasa aku harus memoles riasanku sedikit.
Menatap diriku dalam cermin kecil. Terasa ada yang aneh. Kemarin aku nyaris kehilangan kehormatanku. Jika itu terjadi, mungkin aku tak bisa menemui Kai hari ini. Seketika aku ingat Aji yang masih di rawat di rumah sakit. Tak seperti biasanya aku malas berhias. Aku urungkan niat memoles wajahku. Biarkan begini saja.
Mendapat sambutan dengan senyum Kai yang manis, sedikit menghilangkan perasaan aneh ini. Seperti tak layak bertemu Kai, padahal ada Aji yang terbaring di rumah sakit. Harusnya aku ke rumah sakit lagi sekarang.
"Hari ini pasti berat?" tanya Kai tepat saat aku tiba di hadapannya. Dia menepuk rambutku perlahan.
"Cantiknya pudar kalau begini," lanjutnya memasang senyum agar aku ikut tersenyum.
Aku menghela nafas dan memasang senyum, berusaha semanis mungkin.
"Mau makan dulu?"
Aku tahu Kai sedang berusaha menghiburku, padahal ia tak tahu penyebab aku lesu. Aku tak bisa menolak permintaan Kai. Kai kembali mengajakku ke kedai bakso yang sekarang menjadi kedai favoritnya.
Kedai itu selalu ramai di jam pulang kerja. Aku memperhatikan sekitar. Sepertinya aku kenal seragam dari orang-orang yang hampir memenuhi sebagian ruangan ini.
"Loh, kamu calon istrinya Pak Prabu, kan?" Sebuah suara mengagetkanku. Dia menatapku lekat kemudian beralih pada Kai.