Runtuhnya Pesona Dewa Yunani

Lail Arrubiya
Chapter #17

Sikap Datar Aji

Kemarin.

Saat menunggu keluarga Aji datang, sebelum akhirnya kami saling terdiam. Aji bilang, "kamu sering mengambil kesimpulan sendiri. Satu kalimat bisa kamu artikan berbeda dari yang mengucapkannya. Kamu terlalu perasa. Pantas kamu takut mengecewakan orang lain, hati kamu sudah menyimpulkan begitu. Maka yang terjadi, ya, seperti yang kamu pikirkan."

Setelahnya kami hanya diam, aku tertunduk dan dia terus memandang keluar jendela. Beruntung, lengang itu tak bertahan lama. Sebuah salam terucap dari balik pintu. Suaranya terdengar khawatir, padahal yang mengabari dengan santai bilang, "saya di rumah sakit, tadi jatuh dari motor." 

"Assalamualaik ... Alhamdulillah," salam yang belum selesai terucap itu berubah menjadi Hamdallah. 

Sepasang suami istri yang mungkin sudah berusia lebih dari setengah abad, menghampiri kami. 

"Ibu, anaknya masuk rumah sakit, kok Alhamdulillah," seru suaminya saat sang istri tiba-tiba merubah kalimat salamnya. 

Si ibu langsung menghampiriku, memegang lenganku dengan senyum mengembang. 

"Alhamdulillah, ada yang nemenin Prabu di sini." 

"Bu ..." Aji sepertinya memberikan isyarat agar melepaskan tangan ibunya dariku.

"Cantik. Siapanya Prabu?" Ibunya tak menghiraukan seruan Aji.

"Aku ... temannya Aji, Bu." 

"Oh, masih teman." Ibunya tak melepaskan pegangannya dari lenganku. Justru sesekali mengelus-elus lenganku

"Bu, udah, deh." Kini giliran sang ayah yang memberi kode. "Maaf, ya, Nak. Ibunya memang suka begitu kalau ada teman perempuan Prabu."

Aku mengangguk sopan, tak keberatan dengan sikap ibunya Aji yang sangat hangat padaku.

Sebelum Aji yang bercerita, aku segera memotong obrolan basa-basi perkenalan diri ini. 

"Bu, Pak, aku ... minta maaf, Aji begini gara-gara nolong aku. Aji dipukuli sampai harus dirawat, semuanya karena aku. Aku ... benar-benar minta maaf." Suaraku sedikit tertahan.

Sekilas mata ayahnya Aji biasa saja, sedikit tersenyum. Tapi ibunya terbelalak melepaskan tangannya dari lenganku. Aku pasrah dengan makian yang mungkin akan dikeluarkan ibunya Aji. 

Beliau berganti menatap Aji. Aji membalas tatapan itu dengan wajah bingung.

"Anak Ibu jadi jagoan? Maa Syaa Allah, hebat banget," seru ibunya dengan seringai seakan menggoda.

Hatiku yang sudah siap menerima makian, kaget. Kini mataku yang terbelalak. 

"Alhamdulillah kalau Prabu begini gara-gara nolongin kamu. Ibu takutnya dia jatuh dari motor karena ikut trend gaya-gayaan motor, apa, sih namanya, free style, ya?" 

Kini aku tak mengerti ekspresi wajahku seperti apa. Antara kaget karena tak jadi dimaki dan senang karena orang tua Aji tak menyalahkan ku. 

Tapi dari pertemuan ini aku menyadari kalau Aji punya keluarga yang hangat. Tidak men-judge anaknya dari satu arah saja. Bahkan pada orang yang baru ditemui saja sudah sehangat ini. Aku jadi senang bertemu mereka.

===

Aku menghela nafas siap mengetuk pintu ruang rawat Aji. Baru akan memegang gagang pintu, Aji sudah berdiri di depanku. 

"Aji? Mau kemana? Emang kamu udah boleh turun sendiri?" 

Lihat selengkapnya