Terakhir kali aku menjenguk Aji, aku mendapat kejutan menjengkelkan dari Ryan. Aku terkesiap melihat dia masuk ke ruangan Aji dengan senyum ramah tamah. Sebelumnya Ryan menelponku, menanyakan siapa nama orang yang aku jenguk. Dia mengancam akan bilang pada Ayah kalau aku sudah punya pacar, jika tidak memberitahu siapa yang aku jenguk. Akhirnya aku jelaskan, kalau yang aku jenguk bukanlah pacarku, melainkan rekan kerja dari perusahaan lain.
Dia menyalami ibunya Aji dan memperkenalkan diri. Aku tak mengerti kenapa dia bisa dengan santai bilang mau menjemput aku. Sebelum pulang bahkan dia menatap Aji lamat-lamat. Sungguh, sedang ada angin dari pantai mana yang membuatnya seprotektif itu padaku.
Di perjalanan pulang dia terus mencecarku dengan banyak pertanyaan tentang Aji. Siapa Aji, perusahaan mana dia bekerja, bagaimana aku bisa kenal Aji, kemudian membanting arah obrolan pada pria yang selalu mengantarku pulang, Kai. Dia curiga kalau aku selingkuh. Mana mungkin?
"Lu suka sama cowok tadi?"
Pertanyaan ngawur kembali terucap dari Ryan yang tetap fokus kejalanan.
"Nggak, lah," jawabku tegas.
"Kenapa lu rela jengukin dia sampai maksa Ibu buat bikin nastar?"
"Emang kamu doang yang boleh minta dibikinin nastar sama Ibu?"
Dia mendesis kesal, "iya, cuma gue yang boleh minta."
Aku mendengus. Memalingkan wajah ke luar jendela. Jalanan malam yang masih ramai, mendadak dihiasi rintik gerimis di luar mobil. Kaca jendela yang kupandang, mulai basah oleh rintik gerimis.
"Gue rasa, gue juga harus ketemu cowok lu."
Seketika aku mengembalikan pandangan pada Ryan, dengan tatapan mengancam walau Ryan tak gentar sedikitpun.
"Buat apa? Kamu ga usah ikut campur. Cukup jaga rahasia ini dari Ayah!"
"Gue harus tau siapa aja cowok yang deket sama lu."
Aku bersikeras menolak. Aku tak bisa membiarkan Ryan tahu terlalu banyak, meski aku tahu Ryan bisa dipercaya.
Sejak itulah aku mulai waspada agar Ryan tak bertemu Kai.
===
Tapi, takdir benar-benar berbaik hati mempertemukan mereka. Tepat saat Kai mengantarku pulang, seolah sudah tahu aku akan datang. Dia berdiri di depan pagar rumah sambil menyilangkan tangan di atas perutnya, persis seorang ayah yang menunggu anak perempuannya pulang berkencan.
Aku mendengus kesal begitu turun dari motor Kai. Dia langsung saja menghampiri kami dan lagi-lagi dia menatap Kai lamat-lamat.
Oh, Tuhan, apa kebiasaan menatap orang lain dengan seksama itu kebiasaan yang menurun?
"Ini pacar lu?"
Aku menghela nafas, pasrah hanya bisa berdoa. Aku tak bisa mengelak lagi, doa Kai bertemu Ryan diijabah hari ini juga.
"Aku Kai." Kai mengulurkan tangan dengan senyum ramah tamah.