Runtuhnya Pesona Dewa Yunani

Lail Arrubiya
Chapter #22

Takut

Aku masih tak nyaman dengan obrolan kami di taman semalam. Pengandaian Kai terasa janggal dan raut wajahnya pun berubah seketika walau tetap ada senyum di sana. Ditambah hari ini dia tak datang ke klub menulis. Janggal sekali. 

Aku berangkat dengan ojek online. Semenjak kejadian geng motor aku sedikit khawatir pergi sendirian. Sekarang aku selalu membawa semprotan cabai di tas, untuk jaga-jaga. 

Aku tahu semuanya akan bertanya kenapa Kai tidak datang bersamaku. Walau jelas di grup dia bilang ada urusan di luar. Padaku pun Kai hanya bilang ada urusan mendadak, dia harus bertemu teman lamanya. 

Entah aku yang terlalu khawatir, tapi aku merasa Kai menyembunyikan sesuatu yang tak boleh aku ketahui. Pesanku di balas tanpa kalimat manis, setelah mengantarku pulang tak ada telepon darinya. 

Suasana klub menulis hari ini datar. Kami hanya sesekali saling bertukar pendapat mengenai cerita yang kami buat. Hanya Marsya yang bisa membuat chapter terbanyak. Sisanya hanya bisa membuat tiga sampai lima chapter. Aku yang paling sedikit. Hanya tiga.

Pengunjung kafe mulai berdatangan, klub menulis juga sudah hampir selesai. Tak ada lagi yang ingin membahas tulisan mereka. Sachi bahkan sudah membereskan bawaannya.

"Balik, yuk," ajak Sachi.

Yang lain setuju. Aku juga. Hari ini terasa hampa karena Kai tak ada. Juga dengan pertanyaan yang menggelisahkan hati sejak kemarin malam.

Sachi dan Egi sudah pergi terlebih dulu. Mereka harus kembali ke tempat kerja sekarang. Lembur.

"Kamu ga apa-apa?" tanya Marsya tiba-tiba.

"Eh?" Aku tak mengerti maksud kalimat 'tidak apa-apa' dari Marsya. 

"Maksud aku, kamu ga apa-apa pulang sendiri?" 

Wajah Marsya seperti khawatir. 

"Ga apa-apa," aku memberi senyum lesu. Aku tak bisa membohongi diri kalau aku gelisah.

"Aji, anterin Kinara, dong," Marsya menahan tangan Aji yang hendak beranjak dari tempat duduknya.

"Eh, ga usah," aku menolak segera. 

"Kamu ga liat berita? Geng motor masih sering muncul di jalanan kota."

Ya, pada akhirnya aku memang menceritakan tragedi geng motor itu pada semuanya, garis besarnya saja. 

"Tenang, sekarang aku selalu bawa semprotan cabe kalau berangkat sendiri," aku memperlihatkan semprotan dalam botol kecil itu pada Marsya.

Wajah Marsya menggambarkan kekhawatiran yang lain, aku rasa. Ia seperti ingin bicara namun tertahan. 

Aku sedikit heran dengan sikap Marsya. Semenjak yang lain tahu aku dan Kai berpacaran, Marsya sering mengalihkan pandangannya saat kami bersitatap, sampai aku kira Marsya itu pernah punya hubungan spesial dengan Kai. Tapi hari ini, dia begitu perhatian, sampai mengkhawatirkanku. Sebenarnya dia kenapa?

Mendengar ucapan Marsya tentang geng motor, aku mulai khawatir. Aku mencoba menelpon Ryan, berharap dia mau menjemputku. 

"Masih lama?" aku berdecak begitu mendengar jawaban Ryan yang masih akan berlama-lama berdiskusi dengan rekannya di perpustakaan. Lagipula jalur kami berlawanan, waktunya akan makin lama. 

Aku menutup telpon sambil terus menggenggam erat botol berisi cairan cabai.

Lihat selengkapnya