Suasana di mobil Aji masih sama. Lebih banyak lengang daripada bicara. Aku masih menahan gugu tangisku. Aji juga fokus ke jalanan. Sesekali Aji bertanya arah menuju rumahku. Aku hanya memberi arahan sepatah dua patah kata.
Sudah sampai di jalan utama menuju rumahku, Aji kembali bertanya saat ia melihat belokan di depan.
"Kanan," jawabku singkat.
Aku menyuruh Aji berhenti saat kami tepat di depan rumahku.
"Saya minta maaf," ucap Aji sebelum aku beranjak turun.
"Buat apa?"
"Kalau kamu ga mengantar saya, mungkin kamu ga akan melihat semua itu." Wajah Aji tertunduk.
"Yang aku lihat belum tentu hal buruk, kan? Bisa saja itu sepupu Kai." Aku berusaha menyangkal pikiran burukku.
Aji tersenyum tipis.
"Ini buat kamu." Aji menyodorkan kotak kue. "Terima kasih sudah mau mengantar saya."
Aku berusaha tersenyum dan menerima kotak kue itu.
Aku baru saja akan beranjak turun, tapi tepat di depan mobil Aji, Ayah sudah berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada. Dengan alis berkerut dan garis wajah yang tegas mengisyaratkan agar aku turun. Aku rasa Aji juga.
"Assalamualaikum," Aji mengucap salam kemudian menggapai tangan Ayah untuk disalami.
Ayah menjawab salam dengan datar.
"Dari mana?"
"Klub menulis, Yah," jawabku pelan.
Ayah menatap Aji dengan mata tegasnya. Ia menegaskan pandangannya dengan membetulkan letak kacamatanya.
"Saya teman Kinar, Pak." Aji langsung menjawab tanpa ditanya.
"Teman di klub menulis?"
"Iya. Rekan kerja juga."
"Kerja di perusahaan yang sama?"
"Oh, nggak. Saya berkerja di Minyak Tenggara." Aji terlihat canggung menjawab pertanyaan Ayah.
Aku menghela nafas, merasa pertanyaan Ayah akan sangat panjang.
Ayah mengangguk-angguk sambil terus memperhatikan Aji lamat-lamat. Aku rasa Aji gugup. Wajah yang biasanya datar terlihat kikuk dengan keringat di pelipis. Sepertinya dia tertekan dengan pandangan Ayah.
"Ayah, Aji harus pulang. Dia ditunggu ibunya."
Aji tersenyum kaku. Dengan suara patah-patah meminta izin untuk pulang.
"Setidaknya kamu punya teman di Minyak Tenggara. Mungkin dia bisa bantu kamu masuk Minyak Tenggara," ucap Ayah sesaat setelah Aji pergi.
Aku menghela nafas berat. Tetap saja Ayah mengharapkan aku masuk perusahaan berbasis badan usaha milik pemerintah. Tapi hal semacam ini tidak mendominasi kegundahanku saat ini. Ada hal lain yang terus menerobos ke pikiranku. Tentang Kai dan gadis manis di hadapannya.
Pikiranku terus mengingat wajah manis dari gadis di hadapan Kai. Dan lagi kemarin, dia membicarakan tentang orang di masa lalu. Apa mungkin, dia orang di masa lalu itu?
Aku terus mengingat wajah manis itu. Aku melihat jelas senyum tersipu gadis itu. Rambutnya panjang lurus terurai. Riasannya tipis tapi wajahnya begitu mengagumkan. Aku yang wanita saja mengagumi kecantikannya, apalagi Kai.