Runtuhnya Pesona Dewa Yunani

Lail Arrubiya
Chapter #24

Berakhir

Aku masih tergugu membodohi diri. Seharusnya aku tak menangis saat tahu jawabannya akan begini. Aku sudah mengiranya sejak awal, sejak aku melihat pandangan keduanya bertaut dengan senyum dan rona bahagia di toko kue tempo hari.

Aku disini sekarang, di sebuah pastry shop dengan sepotong Red Velvet dan minuman susu yang sudah dipesan Ryan untukku. Tadi, Ryan menemukanku yang terpuruk di trotoar jalan, tanpa rasa malu menangis karena patah hati. 

"Gue kira dia kriteria lu banget," celetuk Ryan sambil memakan red velvet yang sudah ia potong kecil.

Aku tak menyangkal, tertunduk menatap lantai kafe yang berbahan kayu. 

"Makan dulu, lah. Katanya makanan manis bisa jadi moodbooster."

Biasanya aku bersemangat memakan makanan manis, tapi kali ini seleraku hilang. Lesu melihat red velvet yang menawan. 

Kedai kue ini lengang, hanya ada beberapa pengunjung yang datang. Suasananya tak ramai, hanya ada beberapa obrolan santai dengan suara pelan. 

Aku menyeka air mata yang masih mau turun. Ekspresi Kai tadi masih terekam jelas di pikiranku. Sesak ini semakin menjadi jika wajah tadi datang bersama kenangan manis bersama Kai. 

Ryan yang tadinya asik menyantap red velvet terhenti begitu melihatku yang masih berderai. Dia menghela nafas panjang.

"Gue harus bikin perhitungan sama dia," celetuk Ryan. 

Mataku langsung menatap tajam, menolak tegas usulannya barusan.

"Ga usah ikut campur!" tegasku, "lagian, kenapa juga kamu tiba-tiba sok perhatian sama aku? Kamu mau mencuri perhatian aku juga? Ga cukup perhatian dari Ayah dan Ibu?" 

Wajah Ryan terkesiap menatapku. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku merasa semua ini memang tak pantas aku dapatkan. 

Perhatian Kai berujung kepedihan, lalu Ryan yang mendadak perhatian pasti juga akan berakhir dengan kekecewaan. Dia hanya menjadikanku alat agar sempurna semua perhatian tertuju padanya. Selama ini, dia tak ingin sedikit perhatian pun ada untukku dari Ayah dan Ibu. 

Aku meninggalkan Ryan yang masih tertegun. Perasaan ini makin tak karuan. Aku berjalan dengan hentakan kaki yang cepat, aku mendengus berulang kali. Air mata terus turun tanpa kuseka. 

Aku melangkah semauku meninggalkan Ryan. Semakin menjauh aku merasa ada sesal meninggalkannya. 

Aku tak tahu sejak kapan kami mulai merenggang. Aku ingat dulu, saat masih di bangku SMA, walau Ayah selalu membanggakan Ryan di depanku, aku tak punya perasaan kesal padanya. Kami masih bisa bersenda gurau, saling meledek, bahkan memperebutkan Ibu sudah kami lakukan sejak dulu, tapi tak pernah berakhir pada sebuah rasa kesal. Justru saling ejek kami berujung tawa. 

Entah sejak kapan, aku menyempitkan hati menatap Ryan. Setiap mendengar Ayah membanggakannya, membandingkan dengan prestasiku yang nol, aku menatap sinis pada Ryan. Aku memandangnya sebagai pembanding yang tak sepadan, bahkan pernah aku merasa dia adalah rivalku. 

Perlahan, dia membuat jembatan untuk hubungan kami yang renggang. Terasa tiba-tiba, mengajakku bicara bahkan memberikan perhatian yang sudah lama hilang. 

Semua orang berubah. Iya, semua berubah semau mereka tanpa memperdulikan perasaan yang lain. 

Bising jalanan masih tuli di telingaku, hingga aku tak tahu harus kemana. Pulang? Aku masih malas bertemu orang rumah. Bisa saja Ryan juga sedang dalam perjalanan pulang. 

Aku duduk di halte yang kosong. Sendirian. Melihat penerangan yang hanya didapat dari lampu neon putih di halte dan beberapa lampu taman. Otakku langsung mengingat kejadian geng motor tempo hari. Dengan segera aku mengeluarkan senjata andala, penyemprot cabai. Aku menggenggam erat, dengan tetap waspada. 

Aku duduk beberapa menit memandang lalu lalang kendaraan. Tak lama datang seorang perempuan yang duduk persisi disebelahku. Beramah tamah menanyakan hendak kemana. Aku hanya menjawab menunggu teman. Aku berbohong. 

Beberapa menit berlalu, ia naik angkutan yang sejak tadi ditunggunya. Aku sendiri lagi. 

Lihat selengkapnya