Beberapa hari setelah kata berpisah terucap, hatiku masih diselimuti sendu. Bohong kalau aku bisa beraktifitas seperti biasanya. Aku sudah sangat menyukai Kai, aku sudah jatuh dalam buaian cinta dari Kai. Kemudian saat cinta itu sedang terbang tinggi, menari di angkasa, tiba-tiba sayap cinta itu patah dan terhentak jatuh ke dasar bumi. Rasanya sakit, berpisah saat sedang sayang-sayangnya.
Dua hari yang lalu, Kai menungguku pulang. Didepan kantor ia sudah menunggu. Aku masih tak ingin bertemu dengannya, terpaksa menghindar. Mencari jalan lain untuk keluar. Sebenarnya aku tak tega membiarkan Kai menunggu, entah sampai kapan. Ponsel sengaja aku matikan.
Lalu di hari berikutnya dia datang lagi. Aku masih melakukan hal yang sama.
Namun hari ini, dia kembali datang dengan seikat bunga di tangannya. Aku mulai berpikir, usahanya untuk bertemu denganku tidak main-main. Bahkan, dia mengirimkan pesan akan ke rumah nanti malam. Jangan sampai.
Aku menghela nafas, menyiapkan hati untuk bertemu dengannya.
Wajahnya sudah melempar senyum padaku. Matanya terlihat sendu penuh harapan agar aku mau bicara.
"Buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan seikat bunga berwarna warni.
Aku tak lantas menerimanya.
"Kai, aku sudah bilang, hubungan kita cukup sampai disini."
"Kinara, kamu sudah ga suka sama aku?"
Aku mengalihkan pandangan tak bisa menjawab jujur.
Kai menggapai tanganku dan memaksaku menerima bunga itu.
"Perasaan kita masih sama, Kinara. Please, jangan pergi."
Ada apa ini? Kenapa aku harus mempertimbangkannya lagi? Bukannya aku sudah meyakinkan hati kalau hubungan ini harus berakhir, karena Kai masih menyimpan perasaan pada wanita itu.
Aku tertunduk menatap bunga berwarna-warni itu.
"Lalu bagaimana dengan wanita itu?"
"Aku sudah bilang, aku akan menetralkan perasaanku lagi. Menjadikan kamu satu-satunya di hati aku. Aku janji."
Kalimatnya ambigu. Menetralkan itu maksudnya apa?
Aku bimbang. Hati ini pernah sakit, tapi masih ada cela untuknya masuk kembali. Mungkinkah, Kai bisa menyembuhkan luka yang pernah ia buat?
Kai menggapai tanganku yang kosong, menggenggamnya dengan tatapan mata meyakinkan.
"Maafin aku Kinara, aku ga mau kita putus."
Ah, sial. Aku luluh. Wajahnya yang sendu melupakan sakitnya perkataan Kai kemarin. Aku mengangguk pelan, menyambut genggaman tangannya lagi.
===
Entahlah, aku tak merasakan degupan jantung berlebih saat berbaikan dengan Kai. Biasa saja, bahkan nyaris khawatir, apa keputusanku benar kembali menerima dia.
Aku menatap poster Oppa di dinding kamar.
"Oppa, cuma kalian yang ga akan nyakitin aku. Mencintai kalian terasa bahagia, padahal yang menyukai Oppa juga banyak. Tapi aku ga cemburu. Tetap saja senang."
Aku sudah bersiap pergi ke klub menulis sekarang. Masih di kafe yang sama. Dan lagi aku harus membawa helm milik Aji. Sedikit menyusahkan karena aku harus membawa dua helm, satu milikku yang diberi oleh Kai. Dia akan menjemputku hari ini.
Tapi sudah lebih dari setengah jam aku menunggu, Kai belum sampai. Telponnya pun tak diangkat. Aku mulai curiga. Terakhir kali juga begini.
Aku menghibur diri untuk memikirkan hal positif saja. Dan akhirnya aku pergi sendiri, seperti biasa dengan ojek online.
Sampai di kafe, yang lain sudah mulai berdiskusi. Masih tentang menulis cerita bersambung. Yang lain sudah bertambah chapter-nya, hanya aku yang stuck di bab ketiga.
"Kinar, Kai mana?" tanya Sachi setelah setengah jam kami berdiskusi.
Aku mengangkat bahu.
"Kalian berantem, ya?" Sachi penasaran. Egi menyikutnya tapi Sachi tetap menunggu jawabanku.
"Nggak. Aku juga ga tahu kenapa dia ga jadi jemput. Telponnya ga diangkat."
Sachi melirik Egi. Sepertinya mereka tahu sesuatu.
"Kinara, serius kamu ga apa-apa?" Marsya meyakinkan.
Aku tersenyum kaku. Tentu saja otakku sedang melawan prasangka buruk tentang Kai yang tak jadi menjemputku.
Tiba-tiba telpon Marsya berdering. Menyudahi tatapan khawatirnya padaku.
"Aji, ini helmnya. Maaf, ya. Aku lupa. Beneran."
Yang menerima helm biasa saja menjawab. Seperti biasa datar.
"Eh, kalian dari mana berdua? Kok helm Aji bisa ada di Kinara?" Kini Egi yang penasaran.
"Eh, kita ... "
"Kami bertemu di halte. Malam-malam, dia sendirian. Lagi nangis pula. Seperti anak ayam yang ditinggal induknya," Aji menjawab dengan wajah datarnya.