Runtuhnya Pesona Dewa Yunani

Lail Arrubiya
Chapter #26

Sakitnya Kehilangan

 Butuh waktu berminggu-minggu untuk menetralkan perasaan ini. Tapi aku berusaha menjalaninya seperti biasa. Aku masih pergi ke klub menulis, justru karena Kai masih belum bisa datang, makanya aku bersemangat datang. 

Sachi dan Marsya mulai sibuk bertanya tentang perasaanku kini. Aku bilang, "Hei, aku dan Kai itu baru pacaran. Wajar jika kami putus." Padahal dalam hatiku menangis mengucapkannya. Mana bisa aku dibilang baik-baik saja, setelah tiga bulan aku diistimewakan oleh perlakuan Kai. Butuh waktu untuk bisa move on. Tapi aku tahu aku harus melakukan itu.

Minggu lalu Marsya bercerita tentang sikapnya yang berubah-ubah padaku. 

Kai memang selalu bercerita pada Marsya tentang banyak hal. Maklum mereka berteman sejak kecil. Awal mengetahui Kai akan menyatakan perasaannya padaku, Marsya melarang Kai melakukannya. Dia masih belum putus dengan Jennie. Status hubungan mereka menggantung. Marsya tak ingin ada hati yang terluka karena Kai. Itu nasihatnya sebagai sahabat.

Dari Marsya juga aku tahu, kalau Jennie sedang merintis karier sebagai model. Ia lolos audisi kota ini dan harus ikut karantina selama enam bulan di Ibu Kota. Saat itu Kai berat melepas Jennie, tapi apalah artinya jika Jennie tak bahagia. Ia sudah memimpikan audisi ini sejak kuliah. 

Selama hampir enam bulan mereka lost contact, tak bisa saling berkabar. Hubungan mereka baik-baik saja saat berpisah, namun tak ada kabar dari Jennie membuat Kai merasa hubungan mereka berakhir. 

Dua bulan yang lalu, tiba-tiba Jennie mendatangi kedai kopi Kai. Apa mau dikata, jika Jennie sudah di depan mata, cinta yang dulu sempat hilang, datang lagi. Tanpa Kai bilang dia sudah punya kekasih.

Aku jadi berpikir, saat Kai tak bisa menemaniku ke acara pernikahan Kak Yuli, apa dia juga sedang bertemu Jennie. 

Marsya sendiri bingung dengan sikap Kai yang plin-plan. Ia sudah memperingati Kai, tapi cinta bukan lagi urusan logika. Kadang cinta membuat orang lupa diri. 

===

Siang ini di taman, kami sudah berkumpul. Kami tak lagi membahas cerita bersambung yang seharusnya sudah lebih dari dua puluh bab. Tak ada yang bisa mencapai bab sebanyak itu. Mungkin karena grup ini dibentuk hanya untuk membuat bahagia penulisnya, maka jumlah bab bukanlah patokan. 

Kami kembali ke rutinitas menulis seperti biasa. Memperhatikan sekitar lalu menuliskan apa yang mata kami tangkap. 

Taman memang banyak memberi ide. Banyak hal yang bisa dilihat disini. Ditambah cuaca hari ini mendukung, teduh. Aku memperhatikan sekitar. Klub skateboard masih ada disini, sepertinya setiap akhir pekan mereka memang berlatih di sini. Klub itu sedikit mengingatkanku pada Kai. Dia menulis betapa gigihnya para anggota klub yang terjatuh kemudian memulai lagi. Untungnya, Kai tidak disini. Tak perlu menambah jelas kenangan itu.

Mataku tak sengaja menatap Aji. Obrolan kami terakhir kali membuatku penasaran tentang kisah masa lalunya yang pahit. Hingga ia bisa sesantai ini menjalani hari tanpa pasangan. Usianya sudah kepala tiga, bahkan ibunya sudah rewel ingin segera menimang cucu. 

Wajah Aji itu khas sekali dengan wajah pria Indonesia. Kulitnya setingkat di atas sawo matang, matanya sedikit besar dengan bola mata hitam pekat, rambutnya terpangkas pendek. Di bawah matanya terlihat garis hitam mata panda, sepertinya dia kurang tidur. Mungkin pekerjaan di Minyak Tenggara menyita waktunya. 

"Eh," aku baru sadar mataku memperhatikan Aji. 

Baru saja aku mengalihkan pandanganku dari Aji, mataku menangkap pemandangan lain. Kai berdiri di hadapan kami dengan tangan masih dibebat perban. 

"Hi semua," sapanya dengan senyum ramah.

Semua berseru tidak percaya dia datang. Jantungku mulai tak karuan, aku belum ingin bertemu dengan Kai. Hatiku belum siap.

"Bukannya kamu masih harus di rumah, Kai?" tanya Marsya mewakili pertanyaanku.

"Bosan. Aku sudah kangen ... menulis."

Aku tak menatap ke arah Kai sama sekali. Tapi aku merasa ada beberapa mata menatap ke arahku. 

"Gimana caranya kamu nulis, tangan kamu aja masih di perban?" Kali ini Sachi yang mewakili pertanyaanku.

Dia hanya tersenyum lalu duduk di dekat Egi. 

"Gimana progres menulis cerbungnya?" Kai basa-basi membuka obrolan.

"Entahlah, aku kena writer's block," jawab Sachi.

 "Kinara, kamu gimana?"

Aku terkesiap mendengar Kai menyebut namaku. Dengan wajah biasa saja. 

"Hah? Aku? Eh, cuma dapat enam bab," patah-patah aku menjawab.

"Wah, itu sudah keren," serunya dengan antusias.

Aku hanya tersenyum tipis kemudian beralih pada yang lain. Aku tak nyaman dengan suasana ini. Canggung sekali. Berkali-kali pandanganku mengarah pada Kai, otomatis saja. Otak dan hatiku tak berjalan bersamaan. Hatiku bilang jangan melirik pada Kai, tapi otakku memerintah mata menatap Kai. 

Aku berusaha beralih ke sekitar. Pemandangan di sini tak jauh berbeda setiap minggunya. Klub skateboard, orang-orang yang berjalan bersama pasangannya, atau orang tua yang menemani anaknya bermain. Dan, hei, lihat! Aku ingat jelas pasangan sepuh yang tempo hari aku jadikan objek tulisanku. Sayangnya, beliau sendiri sekarang. Tak ada istrinya menemani.

"Sendiri?" gumamku saat menatap sang kakek yang sedari tadi termenung di bangku taman.

Lihat selengkapnya