Aku kembali pada kebiasaanku sebelumnya, menonton drama Korea secara maraton. Aku bisa menghabiskan waktu malamku berjam-jam di depan layar laptop. Memandang Oppa dengan aksinya yang romantis.
Tak akan ada yang menghabiskan malamku lewat telpon sekarang. Kami sudah resmi putus sejak minggu lalu. Saat aku bilang kita berteman saja.
Tentu saja kalimat itu hanya basa-basi, tak akan ada kata teman setelah menjadi mantan. Sulit. Perasaan yang dulu ada sebagai kekasih, berubah jadi teman? Pasti akan canggung sekali.
Namun aku tak boleh kalah dengan Kai yang bisa-bisanya menyapaku dengan santai seakan tak terjadi apapun. Aku tak mau mundur. Jika kemarin aku sengaja datang ke klub karena tahu Kai tidak akan datang, kali ini aku akan tetap datang walau Kai ada disana.
===
Sedari pagi Bu Sindy sudah gesit membagi tugas untuk kami. Aku bertugas mengumpulkan dokumen kelengkapan persyaratan untuk mengikuti tender di Minyak Tenggara.
Ya, Minyak Tenggara sedang mengadakan tender pengadaan alat pengujian minyak untuk cabang Kertapati. Kami sudah mendapat undangan dan bersiap untuk bersaing dengan perusahaan lain untuk menawarkan harga alat dan jasa terbaik.
Hari Sabtu kuhabis untuk persiapan tender. Aku sudah tak bersemangat maraton menonton drakor. Aku lelah dan ingin segera tidur. Besok aku harus ke klub menulis.
Sayangnya, tepat pukul lima subuh di hari Minggu, Bu Sindy menelponku untuk datang ke kantor hari ini. Aku harus menemui Pak Louise dan seorang teknisi di gudang perusahaan yang masih baru. Harusnya ini tugas Kak Ratna, tapi semalam Kak Ratna jatuh dari tangga, kakinya keseleo dan tentu saja tidak bisa berjalan. Alhasil, aku yang harus menggantikan Kak Ratna.
"Kinara, kamu ga dateng?" Sachi menelponku saat aku sedang menuju gudang baru. "Kok, bisa barengan sama Aji, gitu? Udah dua kali, loh, kalian bolos bareng," suara Sachi terdengar curiga tapi juga menggoda.
"Aku ada kerjaan mendadak. Serius." Aku meyakinkan. Aku tak tahu kenapa Aji tak masuk hari ini. Setauku, tak ada jadwal pertemuan dengan Minyak Tenggara hari ini.
"Okelah," Sachi menutup telpon tanpa bertanya lagi.
Aku juga harus memeriksa lagi kelengkapan dokumen yang diperlukan Pak Louise besok. Dokumen ini penting. Selain kelengkapan surat izin perusahaan, ada manual book dari beberapa alat yang akan diikut sertakan dalam tender ini, serta dokumen penting lainnya yang sudah harus di tandatangani Pak Louise hari ini.
"Sudah lengkap." Aku menghela nafas sebelum memasuki satu ruangan di gedung luas yang hanya ada satu ruang terbuka, khusus untuk alat-alat yang sudah sampai dari Amerika.
Aku mengetuk pintu, kemudian masuk setelah dipersilakan. Pendingin udara di ruangan yang tidak terlalu luas ini berkerja dengan baik. Aku langsung merasakan sejuk begitu masuk ruangan ini.
Pak Louise dan teknisi baru itu langsung menunjukan matanya padaku.
"Loh, Kinara, bukannya Ratna yang harusnya datang?"
"Iya, seharusnya begitu. Kak Ratna semalam kecelakaan kecil. Kakinya terkilir, jadi saya yang menggantikan."
"Tapi semua dokumen yang Ratna pegang sudah lengkap?"
Aku mengangguk yakin, "sudah, Pak."
Aku segera memberikan satu bundle dokumen dalam file map plastik berwarna biru. Cukup tebal.
"Duduk dulu, Kinara," Pak Louise mempersilakan ku duduk disebelah teknisi itu.
Dia menyapaku dengan senyum. Sepertinya umur dia tak terlalu jauh beda denganku.
Beberapa menit Pak Louise memeriksa dokumennya. Ia membaca satu manual book dengan kerutan di dahinya. Seperti beliau sangat fokus pada buku yang isinya menggunakan bahasa Inggris semua.
"Oke Athan, buku ini bisa membantu kamu terutama, dan Pak Iwan untuk presentasi besok. Saya percayakan semuanya pada kalian."
Teknisi bernama Athan itu menerima tiga manual book dari Pak Louise. Baru saja Pak Louise akan mengucapkan sebuah kalimat dari mulutnya yang sudah sedikit terbuka, ponsel Pak Louise berdering. Beliau menatap nama dari ponselnya. Menyeka kening yang sepertinya sudah sangat pusing di dalam isi kepalanya.
"Kalian boleh pulang. Istirahat! Supaya besok kamu fresh, Athan."
Kami mengangguk sopan kemudian keluar.
"Hai, aku Athan," ucapnya seraya menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
"Kinara," jawabku dengan senyum sopan.
Aku memang baru pertama kali melihat dia. Dari beberapa teknisi yang kukenal, sepertinya dia yang paling muda.
"Aku baru sebulan disini. Boleh jadi teman aku?"