Kami sampai di rumah sakit dan langsung menuju kamar rawat Aji. Egi sudah lebih dulu disana, sudah bicara sedikit dengan Aji.
"Maa Syaa Alloh, ini temen-temen Prabu, ya?"
Marsya dan Sachi sedikit bingung saat nama Prabu disebut. Tapi tak menghiraukannya, kemudian menyalami ibunya Aji. Marsya memberikan buah tangan yang kami bawa.
"Jadi merepotkan mereka, kan, Bu," gerutu Aji pelan.
"Ga kok, kita memang niat jenguk kamu, Aji," aku menyela.
"Kirain ga enak badan biasa, santai banget jawabnya waktu aku telpon." Egi menambah topik pembicaraan.
Aji memang begitu, dia selalu menganggap enteng masalah. Awalnya aku merasa begitu juga, tapi kini aku tahu, Aji hanya ingin menyederhanakan masalah. Dan mungkin tak ingin membuat khawatir yang lain.
"Prabu memang begitu. Selalu santai kalau menghadapi masalah," terang ibunya.
"Kalau di rumah, Aji di panggil Prabu, ya?" Marsya memberanikan diri bertanya saking penasaran.
"Iya, kan, namanya Prabu Aji."
Mereka ber-oh nyaris bersamaan.
"Di tempat kerja dipanggil Prabu juga, kan, Kinara?"
Semua mata langsung menatapku, aku gelagapan bingung hendak menjawab apa.
"Kalian satu kantor?" tanya Marsya.
Aku menggeleng yakin.
Sachi hanya berdecak kecewa. Sepertinya ia sadar ada yang kami tutup-tutupi.
"Kalian ngobrol aja dulu, ya. Ibu keluar sebentar."
Ibunya Aji meninggalkan kami dan membuat tatapan itu makin mendesak kami menjelaskan semuanya.
"Kami ga sekantor, tapi perusahaan tempat Kinara bekerja jadi vendor di tempat kerja saya."
"Kamu kerja dimana, sih, Ji?" tanya Egi.
Aku sedikit menatap Aji yang sudah buka suara.
"Minyak Tenggara."
"Itu bukannya perusahan milik pemerintah, ya?" Marsya menyela.
Aji mengangguk.
"Bagian apa?" lanjut Marsya.
Lengang sejenak. Mataku dan mata Aji bersitatap. Anggukan kecil dariku tertuju pada Aji, agar ia bicara jujur saja.
"Saya Supervisor," suara Aji terdengar pelan.
"Astaga, jadi selama ini ada Supervisor diantara kita. Kenapa ga bilang? Tau gitu kita minta traktiran tiap Aji gajian," sergah Sachi.
Aku tersenyum mendengar tanggapan Sachi.
"Bapak Supervisor yang suka nulis fantasi," lanjut Sachi dengan gelak tawa.
Wajah Aji tertekuk mendengar gelak Sachi. Egi langsung menyikut Sachi.