Kalian masih ingat saat aku menghampiri Kakek di taman yang baru saja ditinggalkan istrinya. Saat itu Aji datang bersama anak si Kakek, yang mencari beliau. Tak lama hujan turun membungkus taman. Kami berlari mencari tempat berteduh namun semuanya penuh. Hingga akhirnya kami menemukan satu gazebo yang masih bisa menampung aku dan Aji, walau berdesakan.
Saat tangan seseorang mendorongku nyaris jatuh, saat itu juga Aji menangkapku. Aku menatap wajah Aji. Canggung. Dan entah kenapa hatiku berdebar.
Debaran itu kemudian berlanjut bahkan bertambah. Saat hujan mulai reda, aku diantar Aji pulang. Baru lima menit perjalanan, Aji menepikan motornya di sebuah musholla kecil.
"Belum sholat Dzuhur, kan?"
Aku hanya mengangguk. Sedikit kaget, Aji mengajakku sholat bersama. Sayangnya tak ada mukena disana. Tak mungkin aku sholat dengan pakaianku yang tak berhijab.
Aji berdecak. Sepertinya kesal.
"Tunggu di sini," ujarnya kemudian pergi.
Sekitar sepuluh menit dia baru kembali, membawa sebuah mukena travel berwarna ungu muda. Dari aroma mukenanya, ini baru.
Aku tak banyak bertanya. Aji menjadi imam sholatku hari itu.
Debaran di jantungku makin terasa cepat. Suara Aji saat takbiratul ihram terdengar merdu. Kami mengakhiri sholat dengan salam. Kemudian lengang.
Aji tak berbalik menghadapku, seperti kebiasaan imam yang selesai sholat, berbalik menghadap makmumnya. Dia beranjak bangun dan langsung menyuruhku bergegas.
"Mukenanya dipakai, jangan cuma sekali. Lima waktu jangan terlewat."
Kalimat itu ia ucapkan di saat motor sudah melaju. Suaranya pelan, tapi aku bisa mendengarnya jelas.
Aku tak menyadari kalau Aji sosok yang religi. Selama ini dia tak banyak menunjukan sisi religinya. Sikapnya dingin, datar, gaya pakaiannya pun terkesan biasa, kaos dan celana jeans standar. Dia jarang bicara soal agama. Tapi, hari itu aku tahu dia punya sisi seorang pemimpin.
===
Ryan sudah sampai di rumah sakit. Aku pamit kepada Aji yang harus sendirian di sini.
"Aji, ga apa-apa aku tinggal?"
"Memangnya kenapa? Saya bukan anak kecil," ucapnya sedikit sewot.
"Iya tahu, kamu bukan anak kecil, kamu sudah mau tiga puluh tahun," balasku tak kalah sewot. "Tapi tadi Ibu titipin kamu ke aku."
Dia berdecak. Khas sekali. Terdengar seperti orang yang kesal.
"Saya yang akan bilang sama Ibu. Sudah sana pulang. Nanti Ryan marah-marah."
Iya, lagipula aku tak ingin Ryan bertemu Aji. Mulutnya pasti gatal untuk mengeluarkan kalimat menyebalkan.
"Hati-hati," ucap Aji pelan saat aku beranjak pergi.
"Kenapa?" Aku pura-pura tak mendengar.
"Ga. Udah sana."
"Iya, aku akan ... hati-hati di jalan," aku melanjutkan kalimat dengan nada lagu milik Tulus - Hati-hati di jalan.
Aku tahu Aji sedang menahan senyum, dibalik raut datarnya itu.
Aku segera turun ke loby. Baru keluar dari lift aku menemukan Ryan di hadapanku, tepat saat lift terbuka. Aku yakin dia tak sabar menunggu dan akan mencari kamar rawat Aji.
"Lama banget, sih!"
Aku melengos tak peduli. Ryan mengekor di belakang.
"Lu jenguk Aji lagi? Kok dia sering banget masuk rumah sakit? Lemah banget," cerocos Ryan.
Aku tak memperdulikannya dan terus berjalan menuju parkiran.
"Sebenernya, lu kenapa?" tanya Ryan saat kami sampai di parkiran basement rumah sakit.