"Aji aku sudah bicara soal geng motor itu pada keluargaku. Ternyata mereka peduli. Mereka khawatir. Hanya saja aku yang terlalu takut. Takut merepotkan, takut mengecewakan. Nyatanya, Ayah menanyakan keadaanku, walau tetap dengan gayanya. Dan Ibu merangkulku dengan haru. Lalu Ryan, dia menangis ingin berbaikan denganku, katanya. Hehe..."
"Terimakasih, Aji. Kamu sudah mau mengerti kondisi aku, tanpa mempermasalahkan keadaan kamu. Aku berhutang banyak sama kamu."
Aku tak bisa tidur sekarang. Padahal jam sudah menunjukan pukul satu tengah malam.
Pesan yang kukirim tadi belum dibaca Aji. Mungkin dia sudah tidur. Tak apa. Besok dia pasti membacanya.
Tadi, sehabis Isya, aku membuat nastar sendirian. Tak sepenuhnya sendirian, Ibu membantuku. Tapi kali ini aku ingin sebagian besar nastar ini aku yang membuatnya. Aku hanya menuruti instruksi Ibu.
Dan aku berencana menjenguk Aji besok, sepulang kerja.
===
Tok ... tok ... tok.
"Assalamualaikum," sapaku pelan saat membuka pintu ruang rawat Aji.
Aji menjawab salam. Sepertinya dia tak mengira aku datang. Matanya membulat, wajahnya tegang.
"Kenapa kesini?"
"Ga boleh?" Aku tetap masuk walau tak dipersilakan, menyodorkan paper bag berisi dua toples nastar dengan pita ungu sebagai pemanis paper bag.
"Ini nastar buatan aku. Katanya lebih enak, kan?" Aku menjawab sebelum pertanyaan keluar dari mulut Aji.
"Ibu kemana?"
"Pulang. Mbah Putri kekeh ingin kesini."
"Kamu cucu kesayangan Mbah Putri, ya?"
Dia tak menjawab dan meletakan paper bag berisi nastar di nakas samping ranjangnya.
"Aji, aku kirim pesan ga dibaca?"
Dia melirik sejenak kemudian memalingkan pandangan.
"Saya belum buka aplikasi pesan," jawabnya datar.
Aku mendesis kesal. Padahal aku hanya ingin berterima kasih dan sedikit bercerita padanya.
"Aji, semalam aku cerita soal geng motor sama keluargaku."
"Oh ya? Lalu?" jawabnya seakan enggan.
"Kamu baca pesan aku, dong. Biar ga usah cerita lagi. Aku cuma mau kasih tau hikmah dari kejadian mengerikan itu."
Wajah Aji mulai penasaran.
"Ternyata, orang dengan wajah dan intonasi bicara datar itu punya sisi peduli juga. Bahkan bisa melebihi siapapun di sekitar aku."
Alis hitam Aji berkerut.
"Terima kasih, Aji, kamu ga hanya menyelamatkan nyawa aku. Kamu juga banyak memberi aku nasihat tentang kehidupan."
Alis Aji masih berkerut mendengarkan ucapanku.
"Tentang 'putus, ya, putus saja' atau tentang bagaiman cara merengkuh damai untuk jiwa kita sendiri. Aku belajar banyak dari kamu." Aku mengakhiri kalimat dengan senyum mengembang.
Kini alis hitam itu sudah mengendur tapi matanya masih datar.
"Baguslah," ujarnya singkat.
Baru saja obrolan kami terhenti, pintu kamar rawat Aji diketuk dan terdengar salam dari beberapa orang.
Aji dan aku menjawab salam nyaris bersamaan.
Teman-teman kantor Aji, sepertinya.
Ah, iya, mereka teman kerja Aji. Aku kenal salah satunya. Si biang gosip. Begitu aku mengingat dia.
Si biang gosip juga masih mengenaliku. Matanya membundar sempurna melihat aku disamping Aji.
Yang lain menyalami Aji dan mulai bertanya tentang kondisi Aji. Tapi Si biang gosip masih menatapku lamat-lamat.
"Bener, kan, kamu yang waktu itu saya lihat di kedai bakso," celetuknya membuat semua orang mengarah padanya dan juga aku.