Wajah Aji terlihat tegang dan kaku. Ia duduk dia atas ranjangnya begitu tegap. Senyumnya terlihat sangat kaku, juga terlihat keringat mengucur di pelipisnya.
Ayah, Ibu dan Ryan sudah berada disini sekitar lima belas menit yang lalu. Menyusulku saat mereka tahu aku sedang di rumah sakit menjenguk Aji.
Ayah dan ibunya Aji sudah dikabari kalau keluargaku hendak bicara soal permintaan maaf atas kesalahanku.
"Gimana keadaan Mas Aji sekarang?" Ibu membuka obrolan.
"Sudah baik, Alhamdulillah."
Wajah Aji benar-benar tegang. Aku juga bingung menghadapi situasi ini. Apalagi jika keluarga Aji sudah datang.
"Semalam Kinara minta ditemani bikin nastar. Katanya Mas Aji suka sekali nastar, ya?"
Aji hanya mengangguk sopan diselipi senyum kaku.
"Enak, nastar buatan Kinara? Soalnya itu pertama kali Kinara bikin sendiri. Biasanya harus disuruh dulu, baru mau bantuin buat." Suara Ibu lembut sekali walau sedang menggodaku.
Anggukan Aji semakin kaku. Aku jadi prihatin melihat wajah Aji yang tertekan.
Syukurlah, keluarga Aji segera datang. Bersama seorang sepuh yang mungkin beliau adalah Mbah Putri.
Kami beranjak bangun dan menyalami mereka.
"Maafkan Kinara, karena sudah membuat Nak Aji masuk rumah sakit. Ditambah dia memaksa semuanya untuk tidak mengadukan ini pada kami. Saya, benar-benar minta maaf atas banyak sekali kesalahan yang sudah terjadi." Ayah segera buka suara setelah aku memperkenalkan keluargaku pada keluarga Aji.
"Pak, Kinara tidak memaksa kami. Kami juga merasa ini bukan masalah yang perlu pertanggung jawaban. Prabu hanya berniat menolong Kinara. Dia pasti sudah tahu resikonya," jawab ayahnya Aji dengar suara yang sangat bijak.
"Tetap saja, saya merasa tidak enak hati pada keluarga Nak Aji. Peristiwa ini sudah cukup lama dan kami baru bisa menyampaikan permintaan maaf serta terima kasih hari ini. Kami sungguh berterima kasih pada Nak Aji, sudah menyelamatkan putri kami. Jika sekiranya ada yang bisa kami berikan untuk ucapan terima kasih, maka dengan senang hati kami akan penuhi."
Ayahnya Aji tersenyum bijak.
"Doakan saja kami sehat selalu. Dan silaturahmi keluarga Kinara dan keluarga kami bisa terus terjaga."
Dari awal bertemu, ayahnya Aji memang terlihat orang yang sangat bijak, tak banyak bicara dan ramah. Aku sempat berpikir, wajah datar Aji didapat dari siapa? Kedua orang tuanya sangat ramah dan hangat menyambut orang asing sepertiku. Bahkan yang sudah membuat anak mereka masuk rumah sakit.
"Kalau mau berterima kasih, nikahkan saja anak Bapak dengan cucu saya."
Tiba-tiba terdengar celetukan dari suara renta Mbah Putri. Wajahnya biasa saja mengatakan itu. Sementara yang lain terkesiap.
"Bu," seru lembut ayahnya Aji.
"Kalau anaknya sama-sama suka, kenapa tidak?" Logat jawanya terdengar jelas walau suara beliau pelan.
Ayahnya Aji menepis dengan senyum canggung.
"Mbah Putri memang suka bercanda."
Aku melirik Aji. Sedari tadi dia tak bicara saat tak ditanya. Wajahnya masih sama, tegang dan kaku.
Obrolan yang tadinya serius berangsur berubah menjadi lebih hangat. Ibunya Aji bisa dengan mudah akrab dengan ibuku. Beberapa kali beliau menggoda Ryan, bilang wajah cantikku menurun pada Ryan. Aku terkekeh mendengarnya.