Sachi pernah bercerita pada kami soal perasaannya terhadap Egi, saat kami hendak menjenguk Aji, di mobilnya. Dia bilang secara jelas kalau dia menyukai Egi. Padahal, tanpa dia menjelaskan pun aku dan Marsya sudah mengetahuinya. Bagaimana tidak, Sachi bisa secara terang-terangan menunjukan perasaannya lewat ucapan atau tindakan. Dan aku rasa, Egi juga menyukai Sachi. Aku ingat, saat Egi membelikan minuman untuk kami. Saat aku hendak mengambil minuman jus kemasan, Egi bilang itu untuk Sachi. Sepertinya, Egi tau sekali minuman kesukaan Sachi.
Tapi, Sachi tidak merasa begitu. Baginya, Egi memang baik pada siapa saja. Perhatian itu bisa juga ia berikan pada wanita lain. Bukan Egi pecinta wanita, tapi memang Egi sangat baik. Salah satu yang membuat Sachi menyukai Egi adalah kebaikannya.
Mereka satu SMA dulu. Di sekolah, Egi memang tidak populer. Tapi entah kenapa Sachi bisa selalu memperhatikan Egi. Sachi sering melihat Egi pergi ke musholla sekolah. Dia dengan ramah menyapa semua yang datang ke musholla. Bahkan, diam-diam Sachi memperhatikan Egi yang sering merapikan sepatu siswa yang berantakan di depan musholla.
Dan yang membuat Sachi jatuh hati pada Egi. Saat pulang sekolah, di gang yang jarang di lewati orang, Egi justru mendatangi gang itu. Sachi yang penasaran karena Egi sering ke arah sana dan kembali beberapa saat setelahnya, mengikuti Egi diam-diam.
Egi terlihat memberikan snack yang ia beli saat istirahat untuk dua orang anak yang terlihat lusuh pakaiannya, serta membawa karung untuk mencari rongsokan. Usia mereka sekitar enam dan delapan tahun.
"Egi, mereka siapa?" tanya Sachi tanpa basa-basi.
Egi menoleh dan memberinya senyum lebar.
"Entah. Mereka sering berada di sini."
Egi menceritakan kalau mereka adalah kakak beradik yang harus mencari uang demi bisa bertahan sekolah. Mereka mencari rongsokan sepulang sekolah. Ayah mereka sudah meninggal. Mereka tinggal bersama ibunya seorang.
"Tapi bisa aja mereka menjual belas kasihan orang, buat dapat uang."
"Ayolah, Sachi, mereka anak kecil. Kenapa harus su'udzon gitu?"
"Sekarang, kan, banyak yang begitu."
"Ga semuanya. Liat wajah mereka, lusuh, lemah. Dan kamu berpikir mereka berbohong?"
Sachi menatap anak-anak itu. Memang, wajah mereka sedikit pucat, bibir mereka juga kering. Mata anak-anak itu sendu menatap Sachi. Mungkin mereka mengerti apa yang Sachi bicarakan.
"Oke, lagipula kamu ga mesti percaya, kok. Aku cuma ngikutin kata hatiku, kalau aku tidak resah karena perbuatanku, artinya aku sudah benar."
Egi berpamitan pada kedua anak itu dan bilang akan kesini lagi besok. Sachi mengekor di belakang Egi. Wajah Egi mendadak terlihat bersinar di mata Sachi. Senyum ramahnya bagai oase di tengah gurun. Menyejukkan.
Pada akhirnya, Sachi ikut menemani Egi bertemu kedua anak itu di gang dekat sekolah. Bahkan bukan hanya makanan, Sachi juga membawa baju dan buku-buku untuk mereka.
Sejak saat itulah, kedekatan Sachi dan Egi tercipta. Bahkan setelah lulus. Mereka masih sering bertemu. Lebih tepatnya, Sachi yang menemui Egi.
Meski waktu terus berjalan merangkai tahun, Sachi setia menemui Egi di tempat kerjanya, kini. Egi kuliah sambil bekerja. Awalnya Egi bekerja di sebuah toko alat tulis dan fotokopi di sekitar kampusnya yang buka 24 jam. Namun sayang, memasuki tahun ke tiga, Egi harus berhenti kuliah. Ibunya yang seorang ibu tunggal, jatuh sakit. Hasil kerja Egi tak bisa lagi menutupi kebutuhannya untuk kuliah. Ia harus mengubur impiannya demi sang ibu.