Aku sudah pamit pada Ayah dan Ibu akan bertemu teman klub menulis malam ini. Ayah sudah tak mempermasalahkan lagi soal klub menulis itu, saat tahu Aji juga merupakan anggota klub menulis.
"Yuk!" Ryan sudah turun dari kamarnya, bersiap mengantarku ke restoran tempat kami janjian.
Ryan segera menyalakan mesin mobilnya dan melaju perlahan keluar dari komplek perumahan.
"Ketemuan sama Aji?"
"Sama yang lain juga," jawabku merasa pertanyaan Ryan terdengar menyudutkanku.
"Aji mah bukan tipe lu, kan?"
Aku menatap Ryan dengan alis berkerut, penuh penegasan kalau ucapannya salah.
"Lu, kan, sukanya yang kaya Oppa Korea. Kaya mantan lu."
"Ya, aku suka Oppa, tapi bukan berarti tipe aku harus seperti mereka, kan?"
Ryan melirikku sepintas. Wajahnya seakan heran. Tak percaya akan jawabanku yang sudah berubah entah sejak kapan.
"Jadi, lu beneran suka sama Aji?"
"Apaan, sih?"
"Bener ternyata." Ryan terkekeh. "Pesona Dewa Yunani di mata lu udah runtuh. Berganti dengan pesona perpaduan Jawa dan Sunda." Ryan semakin geli terkekeh.
Aku tak menampik. Justru rasanya aku tersipu malu mendengar ledekan Ryan.
Tapi, benar. Pesona Dewa Yunani itu sudah runtuh. Aku tak lagi menjadikan Oppa Korea sebagai standarisasi ketampanan seorang pria.
Aku berpikir sejenak. Sejak di taman saat hujan turun, definisi tampan versiku sudah berubah. Bukan lagi dia yang berkulit putih bersih, tinggi, model rambut kekinian, style ala Korea.
Justru, pria dengan kulit sawo matang atau bahkan diatas sawo matang, rambut terpangkas pendek klasik, mata panda karena terlalu sibuk bekerja, dan pakaian seadanya, terlihat manis sekarang. Lebih macho. Hehe ...
Sepuluh menit perjalanan, kami sudah sampai. Ryan berjanji akan menjemputku lagi.
Saat masuk, aku melihat pemandangan yang sedikit rancu. Ada Jennie di meja kami berkumpul. Aku menatap datar pada Kai. Dia menerima pandanganku dengan tatapan bingung.
"Maaf, waktu aku mau berangkat, aku ketemu Jennie," ucap Kai ragu.
"Ga apa-apa, kan, aku ikut gabung?" Jennie menatapku dengan senyum manis yang ramah.
Aku tersenyum tipis. Yang lain memberikan keputusannya padaku lewat tatapan mata mereka.
"Iya, ga apa-apa. Lagian ini, kan, acara Sachi."
Aku duduk disebelah Marsya berhadapan dengan Aji.
"Ayo, makan ..." seru Sachi saat makanan sudah dihidangkan.
Pizza berukuran satu meter ditambah ayam goreng original dan hot spicy, belum lagi kentang goreng dan minuman soda. Semuanya Sachi yang memesan.
Marsya menghela nafas melihat makanan yang hampir memenuhi meja kami.
"Sachi, apa kita bisa ngabisin semua ini?" Marsya sudah pasrah duluan.
"Harus habis. Kalian janji mau nemenin aku. Aku ga mau curhat, aku cuma mau ditemenin."
Aku ikut menghela nafas.
"Ayo kita habiskan!" Aku berseru bersemangat.
Menyomot satu potong pizza dengan taburan keju dan sosis. Yang lain mengikuti mengambil makanan terdekat dari jangkauannya.
"Harusnya, makanan ini jadi temen sambil nonton drakor," celetukku dengan mulut penuh pizza.
"Telan dulu makanannya," seru Aji protes.
Aku nyengir dengan pipi menggembung penuh makanan.
"Ga mau. Nonton drakor malah bikin tambah sedih," Sachi protes.