Gerimis membungkus kota malam ini. Padahal sedari siang cuaca sangat terik. Aku masih menunggu Ryan menjemput di depan restoran cepat saji. Yang lain sudah pamit lebih dulu.
Restoran mulai terasa sepi, hanya dua mobil terparkir dan tiga motor di seberangnya. Aku tahu itu motor Aji. Artinya dia belum pulang.
Aku duduk sambil mendengarkan musik dari ponselku. Sepasang earphone nirkabel terpasang ditelingaku. Sesekali memeriksa media sosialku. Foto-foto teman lama sedang beraksi di dunia maya. Foto makan bersama di restoran mahal, foto tas keluaran terbaru dan, foto bersama kekasih dengan gaya yang mesra.
Aku baru ingat. Aku tidak pernah memposting fotoku dengan Kai. Entah lupa atau aku takut Kai dilirik orang. Tapi aku merasa beruntung belum mempostingnya. Paling tidak tak banyak yang tahu aku hanya pacaran dengan Kai seumur jagung saja. Tak terlalu malu juga. Saat diawal jadian kami memposting kemesraan, namun hitungan bulan kami berpisah.
"Boleh duduk di sini?"
Pertanyaan yang sama itu sudah kudengar dua kali hari ini. Di tempat duduk yang sama. Sebelumnya Jennie dan sekarang, aku tahu suara itu. Samar-samar suara Aji terdengar. Ia di berdiri di sebelahku. Aku mengangguk sedikit bergeser.
"Belum pulang?" Aku berinisiatif bertanya lebih dulu sambil melepas earphone nirkabel di telingaku.
"Saya ga bawa jas hujan."
"Harusnya jas hujan itu jangan di keluarin dari bagasi motor. Cuaca bulan ini termasuk ga menentu. Siang terik, sore bisa hujan."
Aji hanya tersenyum mendengar aku nyerocos. Aku merasa Aji lebih banyak tersenyum sekarang. Dan itu sangat manis.
"Saya sudah kirim beberapa chapter, kamu sudah baca?" Aji membuka obrolan.
"Sudah, tapi aku belum baca semua," aku tertunduk merasa ada yang salah.
"Kenapa? Kamu ga tertarik dengan cerita saya?"
"Bukan." Aku menggeleng yakin. "Aku ngerasa maksa kamu buat collab. Padahal sebagian besar ide cerita dari kamu, aku cuma nambah sedikit sisi romansanya."
"Saya ga merasa dipaksa. Suka rela."
Aku menatap Aji, tapi kemudian ia memalingkan wajahnya saat mata kami bertaut.
"Baik banget, sih, Aji," ucapku menggoda.
Wajahnya semakin memerah.
"Minggu depan, kamu dateng ke pernikahan Egi, kan?" Aji mencomot topik lain.
"Iya. Tadi Sachi minta kita datang nemenin dia. Jadi kita harus datang."
"Kamu hebat," ucapnya tanpa memandangku.
Aku menunggunya melanjutkan ucapan yang terdengar berjeda.
"Bisa sangat santai di depan Jennie dan Kai."
Aku mendengus.
"Aku kira aku hebat karena punya kemauan menulis."
"Dulu, saya butuh waktu lama buat menerima sebuah perpisahan." Aji tak menggubris ucapanku.
Ada apa dengan Aji? Tiba-tiba membahas masa lalunya. Apa dia sedang teringat cinta masa lalunya?