Dua hari tak ada pesan lagi dari Aji. Cerita tentang pencarian Tanah Keajaiban pun tak berlanjut. Sepertinya dia kehabisan ide.
Kota dibungkus hujan sedari siang. Cuaca di luar membuat atmosfer di dalam ruangan ber-AC ini semakin dingin. Kemeja lengan panjangku tak memberi hangat yang maksimal. Sudah beberapa kali aku bersin, sampai harus menggunakan masker. Minyak kayu putih sudah kuoleskan di leher dan telapak tangan agar memberi rasa hangat.
"Nih, minum teh hangatnya," Kak Yuli membawakan aku segelas teh hangat. Ia sedari tadi bertanya khawatir melihat kondisiku.
"Lagian ga bawa sweater, sih? Cuaca lagi ga menentu, loh." Kak Ratna mengingatkan dari meja kerjanya yang tak jauh dariku.
"Lupa," jawabku singkat kemudian menyeruput perlahan teh hangat yang masih mengepul.
Menjelang sore, hujan masih betah menurunkan bulir airnya. Kondisiku semakin tak karuan. Dingin dan hidung meler.
Sedari tadi ponsel Ryan tak bisa dihubungi, padahal aku butuh dia untuk menjemput sekaligus membawakan ku sweater.
Berulang kali aku coba menelpon sambil menunggu di lobi kantor. Sesekali masih bersin.
"Kamu mau pakai sweater aku?" Kak Yuli menawarkan sebelum pulang. Suaminya sebentar lagi sampai.
"Nggak usah. Di mobil, Kak Yuli juga pasti dingin, kan."
"Liat wajah kamu, udah pucet, hidung meler. Besok izin aja," Kak Yuli masih menemaniku menunggu.
"Kenapa?" tanya seseorang dari belakang kami. Athan. "Kamu sakit, Kinara?"
"Sepertinya," jawabku pendek menahan bersin yang ternyata tak tertahan.
Aku masih mencoba menelpon Ryan, hingga tiba-tiba sebuah jaket menyelimuti tubuhku. Jaket baseball berwarna hitam dan putih di lengan yang ukurannya terlalu besar di tubuhku.
"Pakai," ucapnya singkat. "Tunggu disini," lanjutnya sambil sedikit berlari menuju parkiran.
Kak Yuli berdehem setelah Athan pergi.
"Oke, sweaterku kalah saing sama jaket Athan yang mahal."
Aku menggeleng menepis ucapan Kak Yuli, yang aku tahu, dia hanya menggoda.
"Hati-hati, melting," goda Kak Yuli menahan tawa.
Lima menit, Athan kembali dengan mobil yang sudah berada di depanku. Ia keluar dengan payung menghampiriku.
"Ayo pulang. Mbak Yuli, kami duluan, ya," Athan pamit pada Kak Yuli seraya menarik tanganku. Masuk dalam payungnya.
Athan menyuruhku membetulkan posisi jaketnya agar tubuhku lebih hangat. Suhu di mobil ia setting sehangat mungkin.
"Kalau sakit kenapa masuk?" tanya Athan sambil perlahan melaju.
"Tadi ga separah ini. Mungkin karena cuaca." Aku mengelap hidungku yang sudah terasa gatal ingin bersin lagi.
"Haccciii ..."
Lagi-lagi tak tertahan bersin. Aku kembali mengoleskan minyak kayu putih di leher dan kini aku mengirup aromanya juga.
"Mau ke klinik?"
Aku menggeleng.
"Aku cuma butuh minum obat flu, minum wedang jahe buatan Ibu, kemudian istirahat. Besok pasti sembuh."
"Kalau masih sakit jangan maksain."
Aku hanya tersenyum.
Jalanan mulai macet dan suara klakson bersahutan di luar. Aku sudah ingin merebahkan tubuh di kasur kesayangan. Kepalaku sudah terasa berat, mataku perih, dan bersinku semakin menjadi.
Aku menyandarkan kepalaku di kursi mobil. Sedikit menengadah agar ingusku tak keluar.