"Kinara, saya dipindah tugaskan sementara ke Kertapati."
Aji membuka obrolannya saat kami sudah berada di sebuah kafe. Aji bilang, ia ingin bicara lebih lama denganku. Maka, aku memilih kafe agar kami bisa lebih santai bicara. Tapi pembukaannya saja sudah membuatku terkesiap.
"Kapan?"
"Minggu depan."
"Sampai kapan?"
"Saya belum tahu."
Aku menghela nafas berat. Entah sudah berapa kali aku menghela nafas hari ini.
"Kinara, saya tidak bingung sama sekali tentang pertemuan dengan dia. Saya hanya kaget. Sekian lama, saya rasa kami tidak akan bertemu lagi. Ternyata ada takdir seperti ini. Dia datang setelah saya mulai menyukai seseorang."
"Kamu ga menyesal? Dia meninggalkan kamu bukan karena ga ingin bersama. Justru dia menyayangi kamu."
Aji terdiam. Mungkinkah dia sedang menimbang-nimbang?
"Tapi, perasaan saya sudah hilang untuk dia. Saya menyukai perempuan lain. Dan tidak berubah walau dia kembali."
Aku merasa degup jantung ini tak beraturan sedari tadi. Antara gelisah dan berharap banyak bercampur menjadi satu.
"Siapa?" Aku memberanikan diri bertanya. Rasa dalam hatiku tak karuan. Tak sabar mendengar siapa perempuan yang sedang Aji sukai.
"Eh, itu ... saya menyukai ... Mbak Ratna," wajah Aji terkesiap.
Aku tak kalah terkesiap mendengar nama Kak Ratna disebut.
"Kamu, suka sama Kak Ratna?"
"Bukan, maksud saya ... itu ada Mbak Ratna."
Aku menoleh ke arah belakangku. Benar, ada Kak Ratna dengan Pak Panji berjalan bergandengan ke arah kami
"Kinaraaa ..." serunya langsung memicingkan mata curiga.
"Kan, aku sudah bilang, dia itu calon istri Pak Prabu," Pak Panji menyela.
"Eh, bukan ..."
"Iya ..."
Suaraku dan Aji bersamaan menjawab. Aku makin bingung dengan situasi sekarang.
"Saya menyukai kamu, Kinara."
Mataku terbelalak setengah membatu. Degupan tadi semakin aneh rasanya. Kini lebih kepada berdebar karena tak percaya dengan apa yang aku dengar juga rasa bahagia yang membuncah.
Kak Ratna tak kalah menganga. Pak Panji biasa saja, seolah sudah tak aneh mendengar Aji menyatakan perasaannya.
"Saya ... benar-benar menyukai kamu," Aji mengulanginya lagi.
Membuat debaran jantungku makin tak karuan.
"Haruskah kita jadi saksi mereka?" celetuk Kak Ratna pada kekasihnya.
Aku menelan ludah menatap Aji yang terlihat serius dan sedikit gugup.