Aji menepati janjinya untuk meluangkan waktu lebih banyak untukku. Dia akan datang menjemputku setiap pagi dan mengantarku pulang saat jam bekerja sudah usai.
Kak Ratna dan Kak Juli tak berhenti menggodaku. Bahkan gosip tentang aku dan Aji seketika menyeruak di kantor. Siapa lagi biangnya kalau bukan Pak Panji dan kini dipertegas oleh Kak Ratna, kekasihnya. Sudah cocok sekali mereka sebagai pasangan kekasih.
Lalu Athan, aku yakin dia sudah mendengar kabar ini. Dia masih menyapaku dengan riang, masih seperti Athan yang aku kenal sejak pertama bertemu. Dia mengucapkan selamat meski tetap membanggakan dirinya sendiri.
"Akhirnya kalian jadian. Aku sudah menduganya. Sayang sekali kamu lebih memilih Pak Prabu yang seperti kulkas itu, dibanding aku yang seperti microwave. Menghangatkan."
Aku terkekeh mendengar leluconnya. Tapi aku senang, Athan tetap seperti itu. Tak ada dinding canggung antara kami berkat sikapnya itu.
Kedatangan Aji setiap hari tentu saja membuat Ryan menganalisis sendiri tentang hubungan kami. Nyatanya, meski tebakan dia tepat, dia tak lantas memberi wajah ramah pada Aji. Tetap saja penuh tatapannya sinis. Ryan tetap beranggapan bahwa Aji itu sok cool.
Berbeda dengan Ryan, Ibu dan Ayah justru terlihat senang jika Aji mengantar atau menjemputku. Justru aku merasa iba melihat wajah Aji. Dia akan selalu terlihat gugup jika bertemu Ayah dan Ibu.
Dan, klub menulis. Minggu ini menjadi Minggu terakhir Aji ikut bergabung bersama kami. Aji sudah memberi tahu kepindahannya di grup menulis. Bahkan, Egi yang masih ada dalam grup tak percaya. Hengkangnya Egi kini diikuti Aji. Makin sepi saja grup ini.
"Aku curiga kalian sudah jadian?" Marsya tak menanggapi kepindahan Aji saat kami bertemu di taman saat berkumpul.
Sachi mengangguk setuju.
Aku menelan ludah melirik pada Aji.
"Iya, kami sudah resmi ... jadian."
Aku terkesiap mendengar pengakuan Aji yang terang-terangan. Dia seperti sengaja bilang begitu dihadapan Kai.
"Woooah..." Sachi dan Marsya kompak melongo.
Kai diam saja. Seakan tak peduli.
"Jadi kalian akan LDR?" tanya Sachi.
Aku mengangguk ragu.
"Kinara, kamu memang keren. Setelah bisa berdamai dengan rival kamu, sekarang kamu bisa menerima LDR dengan lapang dada." Sachi memang paling enteng kalau sudah berpendapat. Hilang saja rasa tak enak hatinya saat bicara itu didepan kami.
"Ya, Kinara memang gadis yang keren," pungkas Aji.
Marsya dan Sachi menahan geli mendengar celetukan Aji. Sedangkan Kai menatap datar pada Aji.
"Astaga, Aji ... kamu jadi berani sekali," ledek Sachi yang kemudian melepas tawanya yang menular pada Marsya.
"Baiklah, sepertinya kalian akan menghabiskan waktu lebih lama hari ini, mengingat besok kalian akan berpisah. Jadi, Kai, bagaimana kalau kita sudahi kegiatan menulis kita hari ini?" ujar Marsya yang sudah merapikan barangnya.
Kai hanya mengangkat bahu. Artinya setuju, begitu tanggapan kami.
Sebelum pergi, Kai menghampiri kami di parkiran taman.
"Selamat, ya. Aku harap kamu menjaga Kinara."
Wajah datar Aji muncul lagi. Menerima uluran tangan Kai.
"Tentu, saya akan menjaga Kinara dengan kesetiaan."
Seperti ada tombak yang mereka acungkan lewat tatapan keduanya. Saat Kai mengulurkan tangannya padaku, Aji yang meraih tangan Kai.
"Saya wakilkan," celetuknya.
Aku menahan tawa melihat tingkah Aji, yang baru kulihat.