Runtuhnya Pesona Dewa Yunani

Lail Arrubiya
Chapter #42

Harus Nekat

Aku sudah menyiapkan dua toples nastar untuk dibawa Aji hari ini. Dengan hati yang berat aku akan mengantar Aji ke bandara bersama ayah dan ibu Aji.  

Mereka sudah tahu soal hubungan kami. Bahkan Ibu Aji ikut menangis saat tahu kami resmi pacaran saat Aji hendak pergi. 

"Kinara, Ibu sangat berharap kalian bisa bertahan dengan hubungan ini meski harus berjauhan," ucap Ibunya Aji saat putranya tengah mengecek semua kelengkapannya. 

"Ibu doakan kami, ya." Aku hanya bisa menjawab itu untuk menenangkan hati ibunya Aji. Beliau memang punya kekhawatiran tersendiri jika itu menyangkut Aji.

"Bu, saya pamit, ya." Suara Aji membuatku segera menoleh padanya. 

Seketika sesak menyerang dadaku. Perpisahan sudah di depan mata. Bulir air mataku menetes sendirinya tanpa permisi, begitu melihat Aji memeluk kedua orang tuanya. Ditambah ibunya Aji sudah terisak dalam pelukan. Rasanya akan sulit menahan bulir air mata ini agar tak deras mengalir.

"Nih," ujarku seraya menyodorkan paper bag berisi dua toples nastar.

"Kali ini tanpa logo BTS?" Aji bergurau.

Aku menyeka air mataku yang tak mau berhenti turun.

"Jaga kesehatan, jaga pola tidur ..."

"Jaga mata dan jaga hati, kan?" Aji menyela sambil tersenyum.

Bisa-bisanya dia bergurau disaat hatiku tak ingin lelucon. Aku ingin memeluknya, tapi ada orang tua Aji disini. Mereka akan terkejut jika tahu aku sangat agresif. 

"Saya akan sering telpon."

Aku hanya mengangguk. 

Aji mengusap air mataku, perlahan.

"Saya titip Ibu, boleh, ya? Tolong kunjungi Ibu kalau kamu senggang. Ibu sudah sangat menyukai kamu melebihi anaknya sendiri."

Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk sambil menyeka air mata. Rasanya setiap kalimat yang Aji ucapkan memangkas waktu bersama kami.

"Saya berangkat, ya."

Tangisku makin deras meski tanpa suara. Ini terasa menyakitkan. Sakitnya tidak seperti putus cinta yang terkadang dibumbui rasa sakit hati dan kecewa. Ini seperti sakit karena khawatir jarak dan waktu merubah perasaan. 

Pelukan Aji mendarat tiba-tiba. 

"Saya jadi berat buat pergi kalau melihat kamu menangis."

"Ehem ..." Ayah Aji memberi kode agar Aji melepas pelukan kami. 

"Sebentar saja, Pak. Biar anak kecil ini berhenti menangis."

Aji masih bisa tersenyum dalam perpisahan ini, tapi mata sendunya bisa aku lihat. Aku tahu dia juga sedih, hanya saja dia pandai menutupi sakit. Sejak dulu itu keahliannya.

Perpisahan memang wajar terjadi saat ada pertemuan. Perlahan sosok Aji menghilang bersama barisan orang-orang yang hendak naik pesawat. 

Sudah tak terlihat sosok itu. Air mataku kembali turun. Menyebalkan, kenapa aku tak malu menangis di hadapan orang banyak. Tapi rasanya, air mata di bandara lumrah terjadi.

===

Lihat selengkapnya